hanafie - Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an


Abstract

Kajian tentang al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, selalu menarik untuk dikaji tidak saja datang dari kalangan umat Islam sendiri, bahkan dari luar Islam (orientalis). Salah satu wacana yang masih menjadi perdebatan adalah apakah ada proses penghapusan pada ayat-ayat al-Qura’an? Dan ayat-ayat apa saja yang dihapus dalam al-Qur’an? Tulisan ini, mencoba mengangkat beberapa argumentasi dari beberapa kelompok yang memperdebatkan persoalan diatas. Dalam makalah ini, penulis ingin menunjukkan bahwa Nasikh-Mansukh menjadi bagian penting dari bahasan Ulum al-Qur’an. Oleh karena itu, untuk mengetahui Nasikh-Mansukh ini, menurut Ibn al-Hashshar, kita harus menggunakan beberapa cara sebagai berikut : Pertama, keterangan tegas dari Nabi atau shahabat (Shohih dan Mutawatir). Kedua, Ijma’ (kesepakatan Umat atau Ulama’ tentang mana yang nasikh dan mana yang mansukh). Dan Ketiga, Pengetahuan tentang sejarah wahyu, yaitu mana yang diturunkan lebih dahulu dan mana yang turun kemudian

 

Kata Kunci : al-Qur’an dan nasikh-mansukh

 

Pengantar

Pada suatu hari, Ali bin Abi Thalib memasuki sebuah masjid di Kufah. Di masjid tersebut, ia melihat seorang lelaki, yang menurut al-Syuyuti dalam al-Itqan, adalah seorang Qadhi, sedang dikelilingi oleh banyak orang, kepada lelaki ini diajukan berbagai persolan. Ketika Ali melihat Qadhi tersebut mencampur adukkan perintah dan larangan. Ali pun bertanya kepadanya : “Ata’rif al-Nasikh min al-Mansukh?”. Lelaki itu menjawab ; : “Tidak”. Mendengar jawaban demikian, Ali berkata kepadanya ; “(Kalau demikian) berarti engkau telah celaka dan mencelakakan (orang lain)”. [1]

Pertanyaan Ali diatas, paling tidak menegaskan akan urgensi ilmu Nasikh-Mansukh sebagai bagian dari Ulum al-Qur’an. Sehubungan dengan urgensi dari Nasikh-Mansukh ini, pendapat Jalaluddin al-Syuyuti dalam al-Itqan, yang banyak dikutip oleh para penulis Ulum al-Qur’an menegaskan :

 
 
 

 


“Para Ulama’ (A’imah) mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan kitab Allah kecuali terlebih dahulu mengetahu ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, yang me-naskh-kan dan di-naskh-kan”.

 

Pada dasarnya, al-Qur’an merupakan firman (“kata-kata”) Allah, yang memiliki satu kesatuan yang utuh. Tidak ada pertentangan antara satu “kata” dengan yang lainnya “seandainya al-Qur’an ini datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan didalamnya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak (QS. 4 ; 82). Masing-masing saling menjelaskan, yufassiru ba’duhu ba’dho. Akan tetapi, jika kita hadapkan ke realitas sejarah, al-Qur’an tidak lepas dari kondisi sejarah yang menjadikan sebab turunya sebuah ayat. Artinya, al-Qur’an tidak akan turun dalam vacuum historis. Hal ini terbukti dengan adanya satu disiplin ilmu tafsir yang mencoba membahas secara mendlam tentang itu, yaitu Ilm Asbab al-Nuzul. Dalam konteks sejarah ini pula, Nasikh-Mansukh menjadi bagian dari implikasi tersebut.

Pada konteks (meminjam bahasanya Amin Abdullah) “historisitas”, manusia dihadapkan pada persoalan yang mempertimbangkan maqosid al-syari’ah (tujuan-tujuan syari’ah), diantaranya yaitu kemashlahatan (mashlahat al-ammah), yang menuntut akan “terbentuknya” hukum baru. Asumsi ini penting untuk melihat apakah benar al-Qur’an yang terhimpun sedemikian rupa, mempunyai pretensi pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Atau memang ada beberapa teks yang di nasikh dengan sengaja untuk mashlahat al-ammah?

Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih, yang terhimpun dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan, salah satunya adalah berbicara tentang perintah dan larangan. Persoalannya kemudian adalah ada kesan ta’arudl (pertentangan) antara perintah dan larangan tersebut. Karena pada posisi ini, umat Islam dihadapkan pada pembicaraan hukum.

Dari sinilah lalu, banyak yang bersilang pendapat mengenai arti nasikh, yang didalam al-Qur’an disebutkan pada beberapa tempat yaitu Surat al-Baqarah/2 : 106, Surat al-A’raf/7 : 154, Surat al-Hajj/22 : 52, dan Surat al-Jasiyah/45 : 29. Imam al-Syuyuti dan al-Syatibi meyakini bahwa setiap ayat al-Qur’an tidak ada kontradiksi. Artinya ayat yang kelihatan bertentangan, pada dasarnya tidak bertentangan. Oleh karena itu, perlu adanya metode penafsiran untuk meluruskan ayat-ayat yang kelihatan bertentangan tersebut, maka lahirlah Nasikh-Mansukh.

 

Pengertian Nasikh-Mansukh ; Pemetaan Awal

Secara etimologis, menurut Subhi al-Shalih, ada beberapa pengertian nasikh terutama ketika kita merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an.[2] Pertama, Nasikh diartikan sebagai Izalah, yaitu penghilangan. Pengertian ini diambil dengan merujuk pada ayat “Allah menghilangkan apa yang dimansuhkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya” (QS. al-Hajj : 52). Kedua, Nasikh berarti pergantian (tabdil). Hal ini merujuk pada ayat, “dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya” (QS. al-Nahl : 101). Ketiga, Nasikh diartikan sebagai tanasukh al-mawarits, pemindahan warisan dari satu orang kepada orang lain. Dan Ketiga, Nasikh diartikan sebagai al-Naql, (menukil atau memindahkan). Salah satu ayat yang menyinggung pengertian ini adalah inna kunna astansikh-u ma kuntum ta’malun (sesungguhnya kami memindahkan amal perbuatan kedalam lembaran-lembaran (catatan amal).[3] Sementara Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan dan sebagainya.[4]

Secara terminologi, Manna al-Qattan menyebutkan Nasikh adalah :

 

Mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Tetapi penghapusan ini tidak termasuk al-bara’ah al-ashliyah, yang bersifat asli, kecuali disebabkan mati atau gila ataupun penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.[5]

 

Sementara Subhi al-Shalih menegaskan bahwa nasikh adalah raf’-u al-hukm-i al-syar’-i bi dalil-i al-syar’-i, mencabut (mengangkat) hukum syar’i dengan dalil syar’i pula.[6] Oleh karena itu al-Syatibi memberikan batasan terhadap nasikh ini ; Pertama, pembatalan sebuah hukum yang terdahulu, karena adanya penetapan hukum kemudian. Kedua, pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian. Ketiga, adanya penjelasan yang datang sesudah ditetapkannya sebuah hukum, tetapi masih samar. Keempat, penetapan syarat hukum terdahulu terhadap hukum yang belum bersyarat.[7]

Akan tetapi, batasan ini ditolak oleh sebagian Ulama’, karena luasnya batasan tersebut, sehingga tidak jelas mana yang mukhassis dan mana yang muqayyid. Lalu munculah batasan nasikh yang lebih sempit, yaitu;,ketentuan-ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu. Sehingga hukum yang berlaku adalah yang telah ditetapkan terakhir.[8]

Dari sini dapat kita lihat bahwa Nasikh-Mansukh mensyaratkan ;

 
 
 

 

 


1), Hukum yang di-mansukh adalah hukum syara’.

2), Dalil penghapusan hukum tersebut adalah hukum syara’ yang datang lebih kemudian, yang hukumnya mansukh.

3), Hukum yang mansukh, hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu tertentu.[9]

 

Jika ketiga syarat tersebut, disepakati menjadi grand desaind bagi adanya istilah Nasikh-Mansukh, maka nasikh hanya belaku pada dataran perintah dan larangan an sich, dan tidak terjadi pada khabar atau berita, seperti janji (al-Wa’d), dan ancaman (al-Wa’id), selama perintah dan larangan tersebut tidak menyentuh pada persoalan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah, aqidah, etika dan akhlaq.[10] Dan yang menjadi kriteria adanya nasikh-mansukh ini adalah 1), Karena adanya sebuah hukum (syara’). 2), Karena adanya pertentangan (ta’arudl) antara satu hukum dengan hukum lainnya. Dan 3), al-Ayat al-Mansukhah itu turun lebih dulu dari pada al-Ayat al-Nasikh.

 

Kajian Nasikh dalam al-Qur’an

Musthafa Muhammad Sulaiman dan yang lainnya,[11] membagi Nasikh-Mansukh menjadi empat kajian ;  1), Nasikh ayat al-Qur’an dengan al-Qur’an. 2), Nasikh ayat al-Qur’an dengan Sunnah. 3), Nasikh Sunnah dengan ayat al-Qur’an. 4), Nasikh Sunnah dengan sunnah.

Contoh dari Nasikh ayat al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah kasus hukum iddah (masa tenggang) bagi seorang wanita janda yang semula satu tahun (QS. al-Baqarah/2 : 240), beberapa waktu kemudian ditetapkan bahwa masa tenggangnya hanya 4 bulan 10 hari (QS. al-Baqarah/2 : 234). Juga bisa kita lihat pada kasus penetapan hukum masalah arak (khamr), yang pada mulanya al-Qur’an hanya menyampaikan tentang positif dan negatifnya khamr tersebut, kemudian al-Qur’an meminta kaum Muslimin untuk tidak mabok ketika sholat (QS. al-Nisa/4 : 43). Dan terakhir al-Qur’an menegaskan kepada kaum Muslimin untuk tidak menggunakan atau meminum khamr (QS. al-Maidah/5 : 90 – 91).

Muncul persoalan, ketika kajian nasikh-mansukh ini masuk pada wilayah nasikh al-Qur’an dengan Sunnah. Imam Malik, Abi Hanifah, dan Imam Ahmad menerima Nasikh model ini, meskipun hanya nasikh al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir. Sementara Imam Syafi’i,[12] Ahli Zahir, dan sebagian kelompok Imam Ahmad menolaknya, karena alasan tingkat kedudukan sunnah yang tidak sebanding dengan al-Qur’an.[13]

Adapun contoh nasikh sunnah dengan al-Qur’an adalah ketika “tradisi” Nabi yang masih berkiblat di Bait al-Maqdis, dan enam bulan kemudian setelah hijrah ke Madinah, maka turunlah ketetapan dari al-Qur’an (QS. al-Baqarah/2 : 144). Juga kebiasaan Nabi yang telah menetapkan bulan al-Syura sebagai bulan wajib puasa, lalu di kounter oleh al-Qur’an dengan turunnya sebuah ayat “maka barang siapa yang melihat bulan ramadhan, hendaknya berpuasalah ia” (QS. al-Baqarah/2 : 185). Akan tetapi, model ini pun ditolak oleh al-Syafi’i, karena apa saja yang ditetapkan oleh Sunnah tentu didukung oleh al-Qur’an, begitu juga sebaliknya, ketetapan al-Qur’an tentunya tidak bertentangan dengan Sunnah. Sehingga antara al-qur’an dan Sunnah saling bersinergi, tidak kontradiktif.[14]

Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an mempunyai tiga makna, Pertama, menunjuk pada pembatalan hukum yang dinyatakan dalam kitab-kitab Samawi sebelum al-Qur’an. Kedua, menunjuk pada penghapusan sejumlah teks ayat-ayat al-Qur’an dari eksistensinya, baik penghapusan teks dan hukum yang terkadung didalamnya sekaligus (naskh al-hukm wa al-tilawah), maupun penghapusan teksnya saja, sementara hukumnya tetap berlaku (naskh al-tilawah duna al-hukm), dan Ketiga, menghapus ayat-ayat yang turun lebih awal oleh ayat-ayat yang turun kemudian atau belakangan, tetapi teks atau ayat terdahulu masih tetap terkandung didalam al-qur’an (naskh al-hukm duna al-tilawah).[15]

Pada kajian pertama, memberikan makna bahwa semua syari’ah sebelum Islam di nasikh oleh syari’ah Islam[16], termasuk Injil, Zabur, dan Taurat.[17] Tetapi asumsi ini bertentangan dengan ayat mushoddiqullima baiyna yadaihi (QS. Ali Imran/3 : 3). Juga perintah al-Qur’an untuk mengembalikan atau merujuk kitab mereka sendiri ketika berhadapan dengan persoalan hukum (QS. al-Maidah/5 : 42), Umat Kristen juga diminta untuk merujuk pada Injil (QS. al-Maidah/5 :50) karena Taurat dan Injil adalah Wahyu Allah (QS. al-Maidah/5 : 71).

Naskh hukm wa al-tilawah, yaitu hilangnya teks al-Qur’an dan hukumnya. Ini terlihat apa yang disampaikan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa

 
 
 

 


Diantara yang diturunkan kepada Nabi adalah sepuluh kali isapan susuan yang diketahui diharamkan. Kemudian ketentuan ini di nasikh oleh “lima isapan susuan yang maklum”. Maka setelah Nabi wafat, lima susunan ini termasuk ayat al-Qur’an yang di baca”.[18]

 

 Hadits yang disampaikan oleh Aisyah ini, menurut Zarqani adalah sahih. Hal ini, justru semakin mempertegas bahwa ada teks yang “hilang” dalam mushaf Usman, meskipun setelah Nabi wafat ayat ini masih dibaca oleh sebagian sahabat.

Dalam laporan lain di sebutkan bahwa :

 

 
 
 

 

 

 

 

 


Abu Waqid al-Laithii berkata, "Ketika Nabi (saw) menerima wahyu, kita akan mendatanginya dan dia akan mengajarkan kepada kita apa yang diwahyukan. Pada suatu hari (Saya mendatanginya) dan dia berkata : “Sesungguhnya Allah berkata, Kami menurunkan kekayaan untuk memelihara doa dan bersedekah, dan sekiranya keturunan Adam mendapati sebuah lembah, maka dia akan meninggalkannya untuk mencari satu lagi seperti itu, dan jika dia memperoleh yang satu lagi seperti itu, dia akan mencari untuk yang ketiga, dan tidak ada yang akan memuaskan perut keturunan Adam kecuali debu, tetapi Allah lembut hati kepada sesiapa yang lembut hati". [19]

 

Laporan ini juga pernah disampaikan pertama kali oleh Ubay bin Ka’ab bahwa ayat ini merupakan bagian dari teks al-Qur’an.[20] Kemudian oleh Abu Musa yang dilaporkan melalui Sahih Muslim.[21] Adalah :

       
 
   
 
 


“Kami pada ketika pernah mengucapkan satu surah yang menyerupai dalam panjang dan tegas seperti (Surah) Bara'at. Meskipun saya lupa, tetapi saya ingat bagian ini : "jika ada dua buah lembah penuh dengan kekayaan, untuk keturunan Adam, dia akan inginkan sebuah lembah ketiga, dan tiada apa yang akan memenuhi perut keturunan Adam kecuali debu”

 

Akan tetapi dalam riwayat Bukhari dari Ibn Zubayr, ayat diatas hanya disebut sebagai hadits Nabi, bukan wahyu al-Qur’an.[22] Juga menurut analisis Schwally, penggunaan kata ibn Adam dalam redaksi ayat diatas merupakan ungkapan yang asing bagi al-Qur’an.[23]

Imam Muslim juga meriwayatkan dalam Shahih-nya ;

 
 
 

 


“Bahwa Abu Musa pernah menghabarkan kepada mereka biasa membaca suatu surat yang panjangnya meyerupai musabbihat[24], tetapi yang bisa diingatnya adalah ayat  Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian katakan apa yang tidak kalian lakukan? Maka dituliskan sebuah kesaksian dileher-lehermu dan kalian akan ditanya tentangnya dihari berbangkit”.[25]

 

Demikian pula Imam Bukhari juga pernah meriwayatkan dari Anas Ibn Malik yang menceritakan bahwa sehubungan dengan orang-orang yang wafat dalam pertempuran Bi’r Ma’una, turun suatu ayat al-Qur’an yang pada masa belakangan dihapus. Teks ayat tersebut adalah

 

sampaikan kepada kaum kami bahwa kami bertemu Tuhan kami, dan Dia ridla kepada kami dan kami pun ridla kepada-Nya”.[26]

 

Laporan-laporan ini, semakin mempertegas bahwa ada teks-teks yang di nasikh, untuk tidak dikatakan sebagai teks yang (di) hilang (kan)[27]. Bahkan sejumlah riwayat mengatakan bahwa surat al-Ahzab/33, yang didalam mushaf Usmani hanya 73 ayat, dikabarkan pada mulanya memiliki sekitar 200 ayat atau sepanjang surat al-Baqarah/2. begitu juga surat al-Taubah/9 dan surat al-bayyinah/98, dikabarkan pada awalnya memiliki jumlah ayat yang lebih banyak dari mushaf Usmani. Yang lebih fantastik adalah ungkapan al-Thabrani bahwa Umar ibn Khattab pernah mengatakan kalau al-Qur’an itu terdiri dari 1.027.000 kata atau ayat.[28]

 

 


“Al-Thabrani dari Umar menyebutkan bahwa al-Qur’an itu terdiri dari satu juta dua puluh tujuh ribu huruf [29] maka barang siapa yang membaca setiap hurufnya akan mendapat bidadari”

 

Riwayat ini kemudian didukung oleh riwayat Ibn Umar, putra Umar Ibn Khathab ;

 
 
 

 

 
 
 

 

 


Sungguh seorang diantara kamu akan berkata “Saya telah mendapatkan al-Qur’an yang lengkap”, dan tidak mengetahui taraf kelengkapannya. Sesungguhnya banyak bagian al-Qur’an yang hilang (dzahaba), dan karena itu seharusnya ia berkata “Saya telah mendapatkan yang masih ada”.[30]

 

Akan tetapi jenis Nasikh seperti ini sangat sulit untuk diterima, baik secara aqli maupu naqli. Kalaulah kita mau menerima Nasikh jenis ini, maka kita akan berhadapan dengan persolan utama ; Pertama, bagaimana dengan pernyataan al-Qur’an bahwa “sesungguhnya telah kami turunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami niscaya akan memeliharanya?”[31] Kedua, berita mengenai riwayah-riwayah diatas, adalah berdasarkan riwayah yang masih kondusif untuk kemungkinan adanya kritik sanad dan matan. Dan Ketiga, jika diasumsikan bahwa tilawah dan hukum-nya sudah mansukh, maka kita pada dasarnya tidak memiliki kepentingan praktis untuk mengamalkannya.

Selanjutnya adalah Nasikh al-Tilawah Dun al-Hukm, tulisan dihapus tetapi hukumnya tetap ada. Umar ibn Khattab mengatakan, dalam versi Itqan menyebutkan ;

 

 
 
 


 “Apabila seorang lelaki dewasa dan seorang perempuan dewasa berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian hukum dari Tuhan dan Tuhan maha kuasa lagi bijaksana.”[32]

 

Sebagian riwayat yang ada mengungkapkan ayat ini termasuk kategori bagian dari al-Qur’an yang di-nasakh. Semula posisi ayat ini berada pada surat al-Ahzab/33, tetapi riwayat ini ditolak, karena perbedaan rima. Menurut riwayat Bukhari, ayat ini pada mulanya berada pada surat al-Nur/24. Akan tetapi, meskipun rima dan fokus pembicaraannya sama, yaitu dengan rima im dan tentang zina, tetapi dalam surat al-Nur/24 ini terdapat batasan yang jelas mengenai hukuman perbuatan zina tersebut dengan cambukan. Sementara ayat diatas dengan rajam.

Dan terakhir adalah Naskh al-Hukm Dun al-Tilawah, hukumnya dihapus, tetapi tulisannya tidak. Menurut al-Zarqani,[33] ayat “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa), membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin (QS. al-Baqarah/2 : 184) di nasakh dengan ayat “karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, hendaklah ia berpuasa pada bulan itu….( QS. al-Baqarah/2 : 185).

 

Kontraversi Naskh dalam al-Qur’an

Fokus pembahasan ini ialah mengenai Naskh al-Hukm Dun al-Tilawah, yaitu persoalan ada atau tidaknya perubahan hukum dari satu ayat dengan ayat lain, ketika ayat tersebut terpisah dalam proses al-Nuzul-nya.

Persoalan Nasikh dalam al-Qur’an ini, bermula dari pemahaman ayat “seandainya al-Qur’an ini datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan kontradiksi yang sangat banyak”. (QS. al-Nisa ; 82). Ayat ini ingin mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan antara satu ayat dengan yang lainnya. Sementara di tempat lain, al-Qur’an mengatakan “setiap ayat yang kami nasikh atau yang kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, tentu kami ganti dengan yang lebih baik padanya atau yang sebanding dengannya” (QS. al-Baqarah : 106).

Abu Muslim al-Asyfahani,[34] menolak anggapan bahwa ayat yang sepintas kotradiktif, diselesaikan dengan jalan nasikh-mansukh. Lantas ia, mengajukan proyek takhsis sebagai antitesa Nasikh-Mansukh. Menurutnya al-Qur’an adalah syari’ah yang muhkam, jadi tidak ada yang mansukh. “Tidak datang kepadanya kebatilan al-Qur’an baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS. al-Fushilat : 42). Artinya, jika sekiranya didalam al-Qur’an terdapat ketentuan yang telah di-nasakh, maka sebagian hukum ayat al-Qur’an juga akan dibatalkan. Sementara syari’at dalam al-Qur’an itu bersifat kekal. Karena ia berlaku sepanjang masa.[35]

Fakhru al-razi dan Muhammad ‘Abduh, juga termasuk yang memandang bahwa istilah Nasikh-Mansukh tidak terdapat dalam al-Qur’an. Alasan mereka disandarkan pada ayat al-Qur’an “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu. Tidak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat –Nya”. (QS. al-Kahfi : 27).[36] Hanya kemudian, Muhammad ‘Abduh menggunakan istilah tabdil, penggantian, pengalihan, atau pemindahan ayat hukum ditempat ayat hukum yang lain, bukan nasakh dalam pengertian pembatalan.[37]

Sementara itu, sebagaian Ulama’ berkeyakinan bahwa didalam al-Qur’an terdapat pembatalan hukum, Nasikh-Mansukh. Ibn Jarir menafsirkan ayat “dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya”, sebagai “Kami angkat ia, lalu Kami turunkan lainnya”.[38] Sedangkan al-Syuyuti mengartikannya sebagai “Allah menurunkan perkara dalam al-Qur’an kemudian mengangkatnya”.[39]

Ibn Katsir menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menafikan Nasikh-Mansukh, karena ia menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja sesuai dengan keinginan-Nya.[40] Hal ini, pula ditegaskan oleh Quraish Shihab, bahwa Allah tidak me-nasakh dalam arti membatalkan suatu hukum yang dikandung oleh satu ayat, kecuali Allah akan mendatangkan ayat lain yang mengandung hukum lain yang lebih baik atau serupa.[41]

Berbeda dengan yang lain, al-Thabathaba’i mengatakan bahwa pertentangan antara dua Nash dalam Naskh pada dasarnya merupakan pertentangan lahiriah, bukan pertentangan hakikiyyah (esensi). Alasan al-Thabathaba’i ini didasarkan pada al-Qur’an Surat al-Nisa ; 82.[42] Ia menegaskan Nasakh pada dasarnya bukan termasuk (yang terjadi karena) pertentangan dalam perkataan (qawl), dan ia juga tidak (terjadi karena) pertentangan (ikhtilaf) dalam pandangan hukum, melainkan terjadi karena pertentangan dalam mushdaq (kriteria) dari segi dapat diterapkannya hukum pada suatu hari, karena adanya mahslahat didalamnya. Dan dari segi tidak dapat diterapkannya pada suatu hari yang lain karena bergantinya kemashlahatan dari kemashlahatan yang lain yang mewajibkan hukum yang lain pula”.[43] Oleh karena itu, al-Thabathaba’i beranggapan bahwa nasakh pada dasarnya tidak hanya khusus terdapat pada hukum-hukum syari’at, melainkan juga dapat terjadi terhadap takwiniyyah (persoalan-persoalan kosmo).

 

 

 

Ayat-Ayat Mansukhat dalam al-Qur’an

Problem Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an ini, mengalami perdebatan panjang. Dimana proses pengkajian doktrin Nasikh-Mansukh mulai abad ke-8 sampai ke-11, telah mencapai suatu proporsi yang sangat dramatis dalam sejarah pemikiran Islam. Ibn Shihab al-Zuhri (w. 742), menyebut 42 ayat yang di-nasikh. Al-Nahhash (w. 949) mengidentifikasi ayat nasikh sebanyak 138 ayat. Ibn Salamah (w. 1020) mengemukakan 238 ayat.[44] Hingga Musa Ibn al-Ata’iqi (w. 1308) yang menyebut 231 ayat yang terhapus. Namun pada periode berikutnya, ratusan ayat mansukhah itu pelan-pelan mulai direduksi, misalnya al-Syuyuti menyebut ayat mansukhat hanya 21 ayat.[45] Kemudian al-Syaukani menyebut hanya 8 ayat.[46] Sementara pada masa Syah Wali Allah, jumlah yang di-Naskh tinggal lima ayat.[47] Lalu pada masa Sayyid Ahmad Khan (1898), secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada lagi doktrin Nasikh-Mansukh sebagaimana yang dipahami oleh Fuqoha’. Kemudian diikuti oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqi, dan al-Khudhari.[48]

Terlepas dari perdebatan tersebut, Nasikh-Mansukh menjadi bagian penting dari bahasan Ulum al-Qur’an. Oleh karena itu, untuk mengetahui Nasikh-Mansukh ini, menurut Ibn al-Hashshar, kita harus menggunakan beberapa cara sebagai berikut : Pertama, keterangan tegas dari Nabi atau shahabat. Kedua, Ijma’ (kesepakatan Umat atau Ulama’ tentang mana yang nasikh dan mana yang mansukh). Dan Ketiga, Pengetahuan tentang sejarah wahyu, yaitu mana yang diturunkan lebih dahulu dan mana yang turun kemudian.[49] Maka Nasikh tidak ditetapkan berdasarkan pada Ijtihad seseorang, Mufasir, atau keadaan-keadaan yang secara lahiriah tampak bertentangan. Hal ini, karena jelas jika persoalan Naskh-Mansukh ini sangat terkait erat dengan persoalan Hukum. Sehingga, akan berimplikasi pada hukum juga.

Akan tetapi ada sebuah kasus, yang dicatat oleh al-Syuyuti, yang tidak memiliki dampak langsung terhadap peraturan hukum, yaitu sebagai berikut ;

Diriwayatkan oleh Ibn Abbas, ketika diwahyukan ayat “Jika diantara kamu dua puluh orang yang sabar, maka mereka akan mengalahkan dua ratus orang” (QS. al-Anfal : 65), terasa bahwa hal itu sangat berat bagi umat Islam. Dan ketika terbukti bahwa mereka tidak mampu mengatasi kekuatan musuh yang sepuluh kali lipat, maka Allah meringankannya dengan wahyu-Nya. “Sekarang Allah telah meringankan (tugasmu), karena Ia mengetahui adanya kelemahan yang ada didalam dirimu. Namun jika ada seratus orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka akan mampu mengalahkan dua ratus orang (non muslim)…..(QS. al-Anfal : 66). Sehingga ketika Allah menyusutkan jumlah musuh yang masih dapat di tahan oleh seorang muslim, maka kesabaran dan keteguhannya (dalam menghadapi musuh) juga semakin ringan, seirama dengan tugasnya yang semakin diringankan.[50]

 

Meskipun banyak Ulama’ yang menganggap bahwa Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an ini, tidak dianggap penting. Bagaipanapun juga, telah jelas didalam al-Qur’an bagaimana doktrin ini telah terjadi dalam al-Qur’an[51]. Oleh sebab itu, al-Maraghi pun menegaskan :

 

Hukum-hukum tidak akan diundangkan kecuali untuk kemashlahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada hukum yang diundangkan pada suatu saat karena adnya kebutuhan mendesak kemudian kebutuhan itu berakhir, maka hal itu merupakan suatu kebijaksanaan apabila hukum yang diundangkan tersebut di batalkan dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu tersebut. Sehingga dengan demikian hukum tersebut jadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari aspek manfaatnya untuk hambA hamba Allah.[52]

 

Penutup

Ayat al-Qur’an (QS. al-Baqarah : 106) tentang konsep Nasikh, mendapat berbagai kontraversi. Hal ini menuntut kita untuk lebih hati-hati dalam melakukan seleksi riwayah yang berkenaan dengan konsep ini. Lihatlah misalnya, riwayat yang disampaikan oleh ‘Aisyah tentang menyusukan sepuluh kali atau lima kali sebagai bagian dari al-Qur’an. Dan juga Umar yang melaporkan sendiri tentang ayat-ayat rajam. Kedua laporan ini, hanya di riwayatkan oleh perorangan. Sementara sebuah riwayat yang shahih, perlu dukungan dari laporan-laporan shahabat lain.

Meskipun terjadi Ikhtilaf dikalangan pemikir Islam, semoga Ikhtilaf ini tidak menyentuh pada persoalan Pertama, al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT. dan mu’jizat-Nya yang terbesar (Qs al-Isra’ : 88) dan bersifat Universal (QS. alQalam : 52), yang diberikan kepada Nabi Muhammad sebagai Rahmatan lil ‘Alamin, yang hukum menolaknya (meskipun satu ayat) adalah kufr serta membacanya adalah ibadah. Kedua, al-Qur’an sebagai tibyanan likulli syai’iy (QS. al-Nahl : 89), pedoman kehidupan yang afdhal dan aqwam (QS. al-Isra’ : 9), manhaj al-hayat, landasan bagi setiap domain kehidupan dan penghidupan (QS. al-fathir : 10), dan sebagai dilalah (QS. al-Nisa’ : 82).

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Ahmad Von Denffer, 1988. Ilmu al-Qur’an ; Pengenalan dasar,  Jakarta : Rajawali Pers.

Ahmad Hasan. 1984. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup,  Bandung : Pustaka.

Ali Hasballah, 1971. Ushul al-Tasyri’ al-Islam  Kairo : Dar al-Ma’arif .

Abu Ishaq al-Syatibi, 1975. al-Muwaffaqat. Beirut : Dar al-Ma’arif.

Ali Yafi, 1994 .“Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an” dalam Budhy Munawar-Rahman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina.

Agus Effendi. 2002. “Kontroversi di Seputar Naskh al-Qur’an” dalam Sukardi (ed), Belajar Mudah ‘Ulumul Qur’an.  Jakarta : Lentera.

Ahmad Mustafa al-Maraghi, tth. Tafsir al-Maraghi. Jilid I, Mesir : al-Baby al-Haliby

Bukhori, 1992 . al-Shohih, Jilid III. Beirut : Dar al-Kitab al-‘Alamah

Hasybi al-Syiddiqi. 1972. Ilmu-Ilmu al-Qur’an,  Jakarta : Bulan Bintang.

_______________, 1987. Sejarah dan Pengantar Ilmu a-lQur’an / Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang.

Isma’il Ibn Katsir, tth. Tafsi al-Qur’an al-Azhim,jilid I, Singapura : Sulaiman Mar’iy.

Imam al-Syafi’i. 1992. AlRisalah (trj), Jakarta : Pustaka Firdaus

Jaluddin al-Suyuti, tth . al-Itqan fi Ulum al-Qur’an.  Beirut : Dar al-Fikr.

_____________. 1983. Tafsir bi al-Ma’tsur, juz I Beirut : Dar al-Fikr. 

M. Quraish Shihab, 2000. Tafsir al-Mishbah ; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati.

Muhammad Husen al-Thabathaba’i,  1991. Al-Mizan. Jilid I, al-A’lam Mathbu’at

____________________________, 1993. Mengungkap Rahasia al-Qur’an, (Bandung : Mizan.

Musthafa Muhammad Sulaiman, 1991. al-Nasikh fi al-Qur’an al-Karim.  Kairo : Maktabah al-Amanah. 

M. Bakr Ismail. 1991. Dirasat fi Ulum al-Qur’an  Kairo : Dar al-Manar.

Manna Khalil al-Qattan, 1983. Mabahis fi Ulum al-Qur’an,  Beirut : Muwassah

Mukhtar Yahya, 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam.  Bandung : Al-Ma’arif

M. Rifa’I, 1991. Ushul Fiqh.  Semarang : Wicaksana.

Muhammad Ibn Jarir al-Thabari. 1954. Al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.  Mesir : Mustafa al-Baby al-Halaby.

Sahih Muslim, 1995. Vol. vii,  Beirut : Dar al-Ma’rifat.

Quraish Shihab, 1998. Membumikan al-Qur’an. Bandung : Mizan

 Subhi al-Shalih., 1977. Mabahis fi Ulumi al-Qur’an  Beirut : Dar al-Ilm al-Malayain. 

Taufiq Adnan Amal. 2001. .Rekontruksi Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta : FkBA

Tholhah Mansur, dkk. 1985. Ushul Fiqh I.  Jakarta : IAIN Jakarta.

W. Montgomery Watt. 1991. Pengantar Study Al-Qur’an ; Penyempurnaan atas Karya Richard Bell,  Jakarta : Rajawali Pers.



[1] Dalam redaksi al-Itqan adalah ;

 

 

[2] Subhi al-Shalih. Mabahis fi Ulumi al-Qur’an (Beirut : Dar al-Ilm al-Malayain. 1977) hlm 259 – 260.

[3] QS. Al-Jasiyah/45 : 29.

[4] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan. 1998) hlm 143. lihat juga Ali Hasballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islam (Kairo : Dar al-Ma’arif. 1971) hlm 326.

[5] Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Beirut : Muwassah. 1983) hlm 232.

[6] Subhi al-Shalih. Mabahis fi Ulumi al-Qur’an, hlm. 261.

[7] Abu Ishaq al-Syatibi, a-Muwaffaqat (Beirut : Dar al-Ma’arif. 1975) hlm 108.

[8] Quraish Shihab, op cit, hlm 144.

[9] Manna Khalil al-Qattan, op cit, hlm 232 – 233.

[10] Manna Khalil al-Qattan, Ibid.

[11] Musthafa Muhammad Sulaiman, al-Nasikh fi al-Qur’an al-Karim. (Kairo : Maktabah al-Amanah. 1991) hlm 49. Juga M. Bakr Ismail. Dirasat fi Ulum al-Qur’an (Kairo : Dar al-Manar. 1991) hlm 300

[12] Dalam al-Risalah Imam al-Syafi’i menyebutkan ; “Allah menegaskan bahwa ketentuan dalam al-Kitab hanya bisa dihapuskan oleh al-Kitab itu sendiri. Sunnah Nabi tidak bisa membatalkan ketentuan al-Kitab, karena al-Sunnah justru yang harus ikut dengan al-Kitab, baik dengan memberikan penegasan yang sama atau memberikan penjelasan terhadap makna yang dibawa”. Lihat Imam al-Syafi’i. AlRisalah (trj), (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1992), hlm 67 – 68.

[13] Manna al-Khali al-Qattan, op cit, hlm 235 – 237.

[14] Lihat Jaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an. Jilid I. (Beirut : Dar al-Fikr. tth)  hlm 21 – 22.

[15] Taufiq Adnan Amal. Rekontruksi Sejarah al-Qur’an. (Yogyakarta : FkBA. 2001) hlm 119.

[16] Salah satu yang di nasikh secara pasti disini sebenarnya adalah tradisi jahiliyah. Implikasi dari sini adalah tidak adanya Nasikh-Mansukh setelah Nabi. Lihat Tholhah Mansur, dkk. Ushul Fiqh I. (Jakarta : IAIN Jakarta. 1985) hlm 189 – 190.

[17] Ali Yafi, Ali Yafi, “Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an” dalam Budhy Munawar-Rahman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta : Paramadina. 1994) hlm. 44 – 45.

[18] Manna al-Khalil al-Qattan, hlm. 238..

[19] Jaluddin al-Suyuti,  Jilid I, hlm. 25.

[20] Dalam mushaf Ubay, ayat ini disipkan diantara ayat 24 dan 25 dari surat Yunus/10.

[21] Hadits ini diriwayatkan dari Suwaid Ibn Sa’id, dari ‘Ali Ibn Mushir, dari Daud, dari Abi Harb Ibn Abi Aswad. Lihat Sahih Muslim, Vol. vii,  (Beirut : Dar al-Ma’rifat. 1995) hlm. 141.

[22] Menurut Imam Bukhori hadits ayat tersebut diucapkan oleh Nabi di atas Mimbar, dan bukan bagian dari al-Qur’an,

 

Lihat dalam al-Shohih Bukhari, Vol. iii. (Beirut : Dar al-Kitab al-‘Alamah. 1992), khususnya pada bab ma yuttaqa min  fitnah al-mal. Dalam Kitab al-Riqaq.

[23] Taufiq Adnal Amal,  Rekontruksi …. hlm. 226.

[24] Yaitu surat-surat yang didahuli dengan perkataan sabbaha. Diantaranya adalah surat /57, /59, /62, dan /64.

[25] Shahih Muslim, Loc cit.

[26] Ibid, hlm 527

[27] bahkan menurut penelitian Ricard Bell, perubahan-perubahan rima dalam al-Qur’an, juga mengindikasikan adanya perubahan (mansukhat) dalam al-Qur’an. Lihat W. Montgomery Watt. Pengantar Study Al-Qur’an ; Penyempurnaan atas Karya Richard Bell, (Jakarta : Rajawali Pers. 1991, hlm 144 – 148.

[28] Hadits ini Shohih, kecuali Thabrani Muhammad Ibn ‘Abid Ibn Adam Ibn Abi Iyas yang disebut-sebut sebagai seorang Dzahabi. Lihat al-Itqan, Jilid. I. hlm. 72.

[29] Taufiq Adnan Amal mengartikan huruf ini sebagai kata, sehingga menurutnya al-Quran sekarang ini jelas tidak mencapai dari sepertiga bagian dari kitab suci yang hilang itu. Lihat Taufiq Adnan Amal. Rekontruksi….hlm. 230.

[30] Al-Itqan, Jilid II. hlm 25

[31] Lihat QS. al-Hijr ; 9 dan QS. al-Isra’ ; 105

[32] Al-Syuyuti, al-Itqan, Jilid II. hlm 25.

[33] Agus Effendi. “Kontroversi di Seputar Naskh al-Qur’an” dalam Sukardi (ed), Belajar Mudah ‘Ulumul Qur’an. (Jakarta : Lentera. 2002) hlm.154.

[34] ia adalah Muhammad Ibn Abu Bakar, seorang tokoh mufassir dari Mu’tazilah. Kitabnya yang menjadi master peace-nya dibidang ini adalah al-Jami’ al-Ta’wil. Dia wafat pda tahun 322 H. lihat Manna Qattan, Mabahits…..,hlm. 225.

[35] Bandingkan dengan Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. (Bandung : Al-Ma’arif. 1986) hlm 427.

[36] Lihat M. Rifa’I, Ushul Fiqh. (Semarang : Wicaksana. 1991), hlm 154 – 155.

[37] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm 147.

[38] Muhammad Ibn Jarir al-Thabari. Al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. (Mesir : Mustafa al-Baby al-Halaby. 1954) hlm 384.

[39] Jalal al-Din al-Syuyuti. Tafsir bi al-Ma’tsur, juz I (Beirut : Dar al-Fikr. 1983( hlm 256.

[40] Isna’il Ibn Katsir, Tafsi al-Qur’an al-Azhim,jilid I (Singapura : Sulaiman Mar’iy. Tth) hlm 151.

[41] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah ; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an. (Jakarta Lentera Hati. 2000) hlm. 276 – 277.

[42] Muhammad Husen al-Thabathaba’i,  Al-Mizan. Jilid I (al-A’lam Mathbu’at. 1991), hlm 252 – 253.

[43] ibid. lihat pula bukunya Husen al-Thabathaba’I yang berjudul Mengungkap Rahasia al-Qur’an, (Bandung : Mizan. 1993). hlm. 60 – 62.

[44] Ibn Salamah menyebutkan bahwa ada 43 Surat yang tidak Nasikh-Mansukh, ada 6 surat yang Nasikh  tanpa Mansukh, 40 surat dengan Mansukh tanpa Nasikh, 25 Surat dengan Nasikh sekaligus Mansukh. Lihat Ahmad Von Denffer, Ilmu al-Qur’an ; Pengenalan dasar, (Jakarta : Rajawali Pers. 1988), hlm. 125.

[45] ayat tersebut menurut al-Syuyuti adalah ; 1). Sikap Muslim terhadap musuh, QS. al-Anfal : 65. di Naskh oleh QS. al-Anfal : 66. 2). Keharusan bersedekah bagi orang yang hendak menanyakan pertanyaan kepada Nabi, QS. al-Mujadalah : 12, di Nasikh oleh ayat 13. 3), Haramnya minuman keras, QS. al-Nisa’ : 43, lalu al-Baqarah : 219 dan QS. al-Maidah : 90. 4). Qiyam  al-Lail, QS. al-Muzammil : 1 – 4 di Nasikh oleh ayat 20. lihat dalam daftar contoh Nasikh wa Manisukh dalam bukunya Manna Khalil al-Qattan,  hlm 243 – 244.

[46] Hasybi al-Syiddiqi. Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang. 1972), hlm. 109.

[47] Ahmad Hasan. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung : Pustaka. 1984) hlm. 62). dalam catatan Shah Wali Allah bahwa hanya 5 dari 21 kasus yang diajukan oleh al-Syuti yang dianggap benar-benar asli, yaitu QS. al-baqarah : 180 di Naskh dengan QS. al-Nisa’ : 11 dan 12. QS. al-Baqarah : 240 di Naskh dengan QS. al-Baqarah : 234. QS. al-Anfal : 65 di Naskh dengan QS. al-Anfal : 62. QS.  al-Rum : 50 di Naskh oleh QS. al-Akhzab : 52. dan QS. al-Mujadalah : 12 di Naskh oleh QS. al-Mujadalah : 13.

[48] Agus Effendi. “Kontroversi di Seputar Naskh al-Qur’an”. hlm. 161.

[49] Pendapat ini dikutip dari al-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu a-lQur’an / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang. 1987) hlm 118.

[50] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang saya kutib dari tulisan Ahmad Von Denffe, hlm 127.

[51] Misalnya tentang perpindahan Ka’bah dari QS. al-baqarah : 115, di Naskh dengan QS. al-Baqarah : 144. juga tentang pewarisan QS. al-Baqarah : 180 di Nasikh dengan QS. al-Nisa’ : 7 – 9.

[52] Lihat Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Jilid I, (Mesir : al-Baby al-Haliby. Tth) hlm 187.

Today, there have been 6 visitors (16 hits) on this page!

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free