hanafie - Pendidikan Islam sebagai Paradigma Pembebasan ; Sebuah Telaah atas Pemikiran Paulo Friere
Abstrak :
Kritik yang selalu muncul dalam pendidikan Islam adalah model pembelajaranya yang doctrinal, dogmatis, dan kurang memberikan ruang gerak bagi peserta didik. Oleh karena itu, tulisan ini menuturkan tentang model pendidikan Islam yang didasari dengan paradigma pembebasan. Dasar teoritiknya, berangkat dari epistemology Paulo Friere tentang kaum tertindas (oppressed). Menurutnya, kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan fikiran mereka, akan membawa rasa takut yang berat. Padahal kebebasan menghendaki mereka, untuk menolak citra diri tersebut harus menggatinya dengan perasaan bebas serta tanggungjawab. Kebebasan hanya bias “direbut” bukan “dihadiahkan” kata Friere.
Pendidikan Islam sebenarnya bersifat emansipatoris, yaitu berusaha melepaskan manusia dari kungkungan dalam bentuk apapun, dengan harapan akan menumbuhkan keberanian untuk tunduk dan patuh hanya kepada Tuhan. Dan dalam agama Islam sendiri berusaha memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas". Pada posisi inilah, kebebasan seiring dengan konteks nilai-nilai tersebut.
Kata Kunci : Paulo Friere, Pendidikan Islam, dan Pembebasan
A.Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian), manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi disekitarnya, hingga manusia lanjut usia bahkan meninggal dunia, ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi dalam melihat persoalan yang dihadapi, dan inilah proses pembelajaran.[1]
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[2]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan.[3] Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam pendidikan, yaitu ketika terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan pendidikan disatu sisi dan kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya. Kepentingan pendidikan seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat. Artinya, fungsi konservasi budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa depan secara akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik terhadap system pendidikan. Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah mengalami stagnasi, yang kemudian melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan.
Salah sati kritik yang muncul adalah bahwa pendidikan mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Bisa juga dikatakan bahwa proses pendidikan mengalami “kegagalan” ketika melihat beberapa kasus yang lalu muncul ke permukaan. Kenyataan ini telah menjadi keprihatinan bersama masyarakat. Oleh karena itu, reformasi pendidikan perlu untuk segera dan secara massif diupayakan, yaitu gagasan dan langkah untuk menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan.
Berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa pendidikan belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa sosial dan kemanusiaan. Radikalisme agama adalah salah satu problem nasional yang perlu dipecahkan. Salah satu upaya strategisnya adalah dengan membangun paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan. Dengan pendidikan yang bermodelkan seperti ini maka sikap moderatisme dalam beragama adalah hasil yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Dan ini sangat penting karena memiliki benang merah pemikiran yang jelas.
Mencetak calon pemimpin bangsa tidak bisa lepas dari peran dan fungsi pendidikan. Siapa saja yang kini telah menjadi orang-orang sukses adalah berkat hasil dari produk pendidikan yang bisa diandalkan. Praktik korupsi yang dilakukan oleh beberapa oknum penguasa adalah cermin dari buram dan minimnya produk pendidikan. Pendidikan bukan hanya berupa transfer ilmu (pengetahuan) dari satu orang ke satu (beberapa) orang lain, tapi juga mentrasformasikan nilai-nilai (bukan nilai hitam di atas kertas putih) ke dalam jiwa, kepribadiaan, dan struktur kesadaran manusia itu. Hasil cetak kepribadian manusia adalah hasil dari proses transformasi pengetahuan dan pendidikan yang dilakukan secara humanis.
Tapi, pendidikan selama ini hanya sebagai momen “ritualisasi”. Makna baru yang dirasakan cenderung tidak begitu signifikan. Apalagi, menghasilkan insan-insan pendidikan yang memiliki karakter manusiawi. Pendidikan kita sangat miskin dari sarat keilmuan yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada. Pendidikan hanya menjadi “barang dagangan” yang dibeli oleh siapa saja yang sanggup memperolehnya. Akhirnya, pendidikan belum menjadi bagian utuh dan integral yang menyatu dalam pikiran masyarakat keseluruhan.
Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli pendidikan, HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi, menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dam sentralistik. Pola uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini masyarakat hanya dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa.[4]
B.Tentang Paulo Friere
Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Namun ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas.
Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka.
Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikand an Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai teologi pembebasan (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme dengan agama Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, melek huruf merupakan syarat untuk ikut memilih dalam pemilu.
Pada 1961, ia diangkat sebagai direktur dari departemen Perluasan Budaya dari Universitas Recife, dan pada 1962 ia mendapatkan kesempatan pertama untuk menerapkan secara luas teori-teorinya, ketika 300 orang buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan terhadap eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui dibentuknya ribuat lingkaran budaya di seluruh negeri.
Pada 1964, sebuah kudeta militer mengakhiri upaya itu, dan menyebabkan Freire dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi pengkhianat. Setelah mengasingkan diri untuk waktu singkat di Bolivia, Freire bekerja di Chili selama lima tahun untuk Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.
Pada 1979, ia dapat kembali ke Brasil, dan pindah kembali ke sana pada 1980. Freire bergabung dengan Partai Buruh (Brasil (PT) di kota São Paulo, dan bertindak sebagai penyelia untuk proyek melek huruf dewasa dari 1980 hingga 1986. Ketika PT menang dalam pemilu-pemilu munisipal pada 1986, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan untuk São Paulo.
Pada 1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire menikahi Maria Araújo Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal. Pada 1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di São Paulo untuk memperluas dan menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Institut ini menyimpan semua arsip Freire. Freire meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997. Beberapa penghargaan yang diperoleh oleh Friere adalah ; Penghargaan Raja Baudouin (Belgia) untuk Pembangunan InternasionalPenghargaan bagi Pendidik Kristen Terkemuka bersama istrinya, ElzaPenghargaan UNESCO 1986 untuk Pendidikan untuk Perdamaian
Paulo Freire menyumbangkan filsafat pendidikan yang datang bukan hanya dari pendekatan yang klasik dari Plato, tetapi juga dari para pemikir Marxis dan anti kolonialis. Malah, dalam banyak cara , bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dapat dibaca sebagai perluasan dari atau jawaban terhadap buku Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, yang memberikan penekanan yang kuat tentang perlunya memberikan penduduk pribumi pendidikan yang baru dan modern (jadi bukan yang tradisional) dan anti kolonial (artinya, bukan semata-mata perluasan budaya para kolonis).
C.Makna Pembebasan dalam Perspektif Paulo Friere
Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan unutuk memilih. Manusia juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Sementara pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[5]
Dalam perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan.[6] Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam pendidikan, yaitu ketika terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan pendidikan disatu sisi dan kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya. Kepentingan pendidikan seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat. Artinya, fungsi konservasi budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa depan secara akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik terhadap system pendidikan. Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah mengalami stagnasi, yang kemudian melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan.
Salah satu kritik cukup tajam menganai pendidikan ini datang dari Paulo Friere. Menurut Freire, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi sampai kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid.[7] Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid". Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).[8]
Keprihatinan Friere terhadap kaum tertindas (oppressed) telah mendorong dirinya untuk mengantisipasi persoalan tersebut demi masa depan kemanusian. Menurutnya, kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan fikiran mereka, akan membawa rasa takut yang berat. Padahal kebebasan menghendaki mereka, untuk menolak citra diri tersebut harus menggatinya dengan perasaan bebas serta tanggungjawab. Kebebasan hanya bias “direbut” bukan “dihadiahkan” kata Friere.[9]
Di dalam bukunya yang lain, Friere menulis dengan mengutip pendapat Erich Fromm sebagai argumentasi terhadap situasi yang mengungkung manusia modern ;
“(manusia) menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya bertindak dan berfikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak bebas, jika ia tahu tentang masalahnya. Yang menjadi persoalan adalah ketika mereka tidak tahu. Karena ia tidak tahu, maka ia akan menyesuaikan diri dengan penguasa yang tidak dikenalnya dan ia akan meng-ia-kan hal-hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, maka ia semakin tidak berdaya untuk merasa dan ia semakin ditekan untuk menurut.[10]
Manusia modern, kata Friere, telah dikuasai oleh kekuatan mitos-mitos dan telah dimanipulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye ideology, dan lainnya tanpa disadari oleh manusia modern, yang pada gilirannya akan menghilankan kemampuan untuk memilih dan mengambil keputusan secara bebas. Manusia modern, kemudian tidak terbiasa untuk menangkap sendiri tugas-tugas zaman, melainkan hanya menerima apa adanya dari hasil penafsiran penguasa atau kaum “elit”.
Jika kita mau memandang perjalanan peradaban manusia sendiri, yaitu ketika gerakan renaissance itu muncul, berangkat dari tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud dan teraktualisasi. Sedangkan pada masa gerakan Aufklaerung, yang menjadi “cita-cita”-nya adalah moral rasionalisme, yaitu keberanian untuk memakai kemampuan akal budi secara bebas.[11] Atau jika kita mengikuti pendapat Soedjatmoko bahwa yang kita butuhkan adalah pembebasan dari rasa tidak berdaya dan dari ketergantungan “dari rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak oleh wewenang yang lebih tinggi atau oleh adat kebiasaan…”.[12]
Melalui pembacaannya terhadap gagasan Antonio Gramsci yang pernah menyatakan bahwa kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis dengan menggunakan teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan kritis terhadap “realitas akal sehat”, maka Paulo Freire merefleksikan gagasan tersebut dengan memformulasikannya dalam sebuah model “penyadaran (conscientizacao)”.[13]
Dampak riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.
“Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.
Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.
Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.
Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki batasan-batasan tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh “kaum tertindas” tersebut. Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu, justru akan berbenturan dengan hak-hak orang lain, yang pada ahirnya akan menimbulkan anarkhisme.
Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).
D.Menggugat Pendidikan Gaya Bank
Freire mengurai secara ganblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang “menindas” dan kontra-pembebasan. Dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menegaskan bahwa pola pendidikan yang selama ini terjadi bahwa hubungan antara guru dan murid dengan menggunakan model “watak bercerita” (narrative): seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid).[14] Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru Cuma “mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya. Pendidikan menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah celengannya dan para guru adalah penabungnya.
Konsep pendidikan itu disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gara bank”. Akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal. Dalam model pendidikan ini secara jelas kita bisa melihat bahwa pendidikan adalah alat kekuasaan guru yang dominatif dan “angkuh”. Tidak ada proses komunikasi timbal-balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling mengkritisi. Guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang. Freire kembali menegaskan bahwa dengan demikian pengetahuan seolah-olah adalah “anugerah” yang dihibahkan oleh mereka yang mengangap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, alias bodoh. Di sinilah terselip ideologi penindasan.
Raison d’etre pendidikan yang membebaskan, sebagai kebalikan dari model pendidikan “gaya bank” adalah usaha ke arah rekonsiliasi, untuk memecahkan kontradiksi antara guru dan murid. Dalam tulisan yang lain, Freire memberikan jalan keluar atas kondisi pendidikan yang menindas seperti itu dengan menggagas pendikan yang berorientasi kemanusiaan. Satu-satunya alat efektif dalam pendidikan pemanusiaan adalah “hubungan timbal-balik” permenen berbentuk dialog antara para pemimpin revolusioner (guru) dan kaum tertindas (siswa). Hal ini tentunya dengan membongkar bangunan awal struktur pendidikan, di mana guru sebagai kelompok “penindas” menuju “revolusioner”.
Dialog yang terbangun ini kemudian disusul dengan mempraktekan pendidikan “ko-eksistensial”, yaitu para guru dan para murid sama-sama bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subyek-Subyek, bukan hanya dalam tugas menyikap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi. Ini amat berat memang.[15] Tapi, yang jelas, dengan mendialogkan antara penegtahuan dan realitas maka akan tercipta pengetahuan baru yang merefleksikan kembali cita-cita revolusioner.
Kembali pada konsep pendidikan revolusioner. Untuk menciptakan makna baru bagi pengetahuan yang membebaskan, kita bisa memakai pendekatan “humanisme dialektis”-nya Karl Marx tentang perkembangan pribadi lewat interaksi dialektis antara individu dengan lingkungannya. Di sini pendidikan dinilai sebagai cara penyelesaian pertentangan-pertentangan mendasar antara kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri para pelajar, dan juga pantulan pertentangan antara murid dengan guru.[16] Untuk melenturkan pertentangan antara individu dan komunitas --seperti telah sebagian dikemukakan di muka-- maka perlu perantaraan atau mediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal serta informal. Salah satunya adalah sekolah. Walaupun di dalamnya juga memuat pertentangan antara murid dengan sekolah, tidak lagi antara guru dan murid. Intinya, sekolah menjadi harapan untuk menciptakan murid yang berpengetahuan yang berorientasi kemanusiaan.
E.Pendidikan Islam Sebagai Proses Pembebasan
Berdasarkan cermin Freire sebagaimana diuraikan diatas, penulis mencoba menggali kembali hakekat Islam sebagai agama yang diturunkan Allah untuk manusia. Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh Freire telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya. Ali Engineermenuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter.[17]
Islam sendiri adalah agama pembebasan karena "Islam memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas". Ayat-ayat Al Qur'an misalnya, diantaranya "...Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi..." (QS. 28:5), hal ini semakin menegaskan bahwa asal usul diturunkannya Islam (dan juga rasul-rasul) adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu ketertindasan dan ketidaksadaran.[18]
Nabi Muhammad dalam perjalanan sejarahya, telah mekalukan sebuah gerakan pembebasan yang cukup revolusioner.[19] Nabi Muhammad bukan saja melakukan pembebabasan terhadap kaum perempuan yang selama berabad-abad telah tertidas oleh budaya Arab yang memarginalkan peran perempuan dalam berbagai sector publik, tetapi juga mewajibkan (faridhat) kepada setiap Muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan inilah, umat Islam diharapkan mempunyai “kesadaran terhadap realitas”. Dalam pandangan Asghar Ali Engineer, ilmu pengetahuan ini dapat dihubungkan dengan nur (cahaya), artinya dengan ilmu pengetahuan manusia mampu terbebas dari kegelapan menuju cahaya keselamatan.[20]
Sementara itu, di dalam Al Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali,[21] Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti. Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.
Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam menggapai kebenaran (QS. 17 : 36). "Pengetahuan (‘ilm) boleh merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat "suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu".[22] "Ilmu itu harus dinilai dengan konkrit. Hanya kekuatan intelektual yang menguasai yang konkritlah yang kana memberi kemungkinan kecerdasan manusia itu melampaui yang konkrit".[23]
Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa berbeda atas suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek terhadap subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus bisa terukur kebenarannya.
Oleh karena, ilmu dalam Islam adalah sebagai kesadaran tentang realitas, maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir adalah alam semesta (mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia mulai mendengar, melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa suara, bentuk dan perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal untuk mengenal realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan dan sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang metarealitas, yakni suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses-proses penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Atau dari mati menjadi hidup, kemudian dari hidup menjadi mati (QS.2: 28).
Kesadaran inilah yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan di alam semesta. Sebuah kesadaran yang akan menghantarkan manusia pada posisinya sebagai abd (hamba) sekaligus sebagai khalifah (wakil Tuhan) di alam semesta ini.
F.Penutup
Jika Friere basis gerakan pembebasan adalah melakukan kesadaran kritis untuk membuka kesadaran “kaum tertindas”, maka Islam mendasarkan diri pada kesadaran untuk memahami realitas yang terjadi disekitar manusia itu sendiri. Friere menginginkan adanya kesadaran akan bahaya budaya industri, sekalipun manusia telah berhasil meningkatkan standar hidupnya, tetapi dalam waktu yang sama budaya itu cenderung untuk menempatkan manusia pada posisi tercerabut dari akar kemanusiaannya.[24]
Disini ada “titik temu” antara pembebasan yang diusung Friere dengan yang ada dalam Islam. Karena pesan substansial dalam Islam adalah pesan pembebasan. Sementara pembebasan itu sendiri haruslah dijalankan secara dialogis dan demokratis. Pembebasan dilakukan dengan menjadikan rakyat sebagai subyek pembebasan, dan bukan obyek. Seperti dituliskan oleh James Y.C. Yen yang telah menjadi motto gerakan-gerakan pembebasan, "...Datanglah kepada rakat. Hidup bersama rakyat. Berencana bersama rakyat. Bekerja bersama rakyat. Mulailah dengan apa yang dimiliki rakyat. Ajarlah dengan contoh, belajarlah dengan bekerja. Bukan pameran, melainkan suatu sistem, bukan pendekatan cerai-berai, melainkan mengubah. Bukan pertolongan, melainkan pembebasan...".
Akan tetapi, gagasan Friere tersebut sebenarnya untuk menentang arus tradisi yang serba verbal. Misalnya bias dilihat dalam kritiknya tentang praktik pendidikan yang menjemukan itu ;
“…Tradisi pendidikan Brazilia, bagaimanpun juga tidak merupakan pertukaran ide-ide, melainkan pendekatan ide-ide itu; bukan merupakan debat atau diskusi tema-tema, melainkan pemberian pelajaran atau kuliah; bukan pemberian kerja sama atas murid, melainkan kerjasama atas murid, memaksakan suatu perintah yang harus dituruti oleh para murid. Dengan memberikan rumusan-rumusan yang harus diterima oleh para murid dan bukan memberikan perangkat untuk berfikir otentik kepadanya. Kita tidak memungkinkan adanya asimilasi muncul dari pencarian, dan dari usaha untuk mencipta lagi dan menemukan lagi…”[25]
Oleh sebab itulah, Friere mengusulkan system dan orientasi pendidikan yang membebaskan dari budaya yang serba verbal, mekanistik, dan dangkal. Budaya seperti ini, menurut Friere, tidak mungkin akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih otentik dan lebih manusiawi.
Kelebihan pemikiran Friere ini, terletak pada kemampuannya untuk merangkai gagasan-gagasan pendidikan dalam sebuah teori yang cukup mapan. Tetapi yang belum terjawab dari gagasan pembebasan Friere adalah pertanyaan “freedom for what?”. Friere hanya menjawab pertayaan “freedom from what?”, yaitu bebas dari budaya verbal yang serba naïf dan membosankan, bebas dari budaya otoriter yang mendikte dan memerintah. Sementara itu, kebebasannya Friere ini, masih berkutat dan terikat dengan kepentingan dimuka bumi ini, yaitu kepentingan yang masih bersentuhan dengan matrealisme dan positisme, tetapi belum mempunyai kaitan organic dengan dimensi spritual transcendental, yang memungkinkan manusia mampu berdialog secara intim dengan Yang Tak Terhingga, dengan Yang Mutlak, yaitu Tuhan Alam Semesta.
Dialog spritual in, akan memberikan makna yang sangat mendasar bagi pendidikan, karena pada hakikatnya manusia berada dibawah “kuasa”-Nya. Dan “dalam pandangan al-Qur’an, eksistensi manusia dimuka bumi ini akan bermakna manakala setiap aktifitas yang mereka lakukan, berorientasi secara sadar ke Realitas Yang Tertinggi. Tanpa orientasi seperti ini, sebaik apapun sebuah praktik pendidikan, tidak akan mempunyai nilai di sisi-Nya.[26]
Dengan demikian manusia akan menyadari dengan sendirinya tentang kehariran alam semesta sebagai realitas fisika dan kehadiran Allah SWT sebagai realitas metafisika. Alam fisika sebagai realitas terbuka, sedangkan alam metafisika sebagai realitas tertutup. Alam semesta yakni mikro kosmos dan makro kosmos hadir sebagai realitas untuk mengukuhkan eksistensi Tuhan sebagai pemilik mutlak yang tak pernah punah, sedangkan alam semesta itu sendiri bisa punah sebagai suatu yang nisbi alias tidak kekal.
Maka dalam Islam, Alam semesta adalah sumber ilmu yang kedua yang merupakan ciptaan Allah SWT karena sebelum adanya alam semesta, Allah lebih dahulu ada yang tidak berpermulaan dan tak berakhir. Sedangkan alam memiliki permulaan dan masa akhir. Oleh karena itu ilmu dari Allah yang bersifat langsung bersifat absolut, sedangkan ilmu lewat alam semesta bersifat relatif.[27]
Daftar Pustaka
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, (Yogjakarta : LKiS, 1993)
________________, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999)
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Maarif, 1980)
Al-Taumy Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983)
Ali Audah, Konkordasi Qur’an, , (Bandung : Mizan, 1997)
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu)
Danis Collins, Paulo Freire Kehidupan, Karya & Pemikirannya, (Yoryakarta : Pustaka Pelajar, 2001)
Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, (trj), Bandung ; Mizan. 1990)
Hanif Dzakiri, Islam dan Pembebasan, (Jakarta : Djambatan dan Pena, 2000)
Hasan Langgulung, Beberapa Pengertaian Tentang Pendidikan Islam, (Bandung : Al Maarif, 1980)
Ignas Kleden, “Pengantar” dalam Sudjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
Ibn Khalsun, Mudaddimah, (trj), (Jakrta : Pustaka Firdaus, 2000)
Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung : Mizan, 1997)
__________,Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta : Gramedia, 1984)
Rusli Karim, ”Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam A. Syafii Ma’arif dkk., Pendidikan di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991)
Ramayulis,”Guru Agama Cenderung Otoriter dan Doktriner”, dalam Kompas, 1994
Sudjatmoko, Pembangunan dan Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
Syafi’i Ma’arif, “Pendidikan Islam Sebagai Paradigma Pembebasan” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1991).
Samuel Bowles dan Herbert Gintis, “Pendidikan Revolusioner” dalam Menggugat Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
William A. Smith, Conscientizacao Tujuan pendidikan Paulo Freire, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001)
Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003)
[1] Dalam Islam, secara normative disandarkan pada sebuah hadits Nabi “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
[2] Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung ; al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[3] Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[4] Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-10.
[5] Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung ; al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[6] Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[7] Lihat Paulo Friere, Pendidikan Kaum Tertindas, (trj), (Jakarta : LP3ES, 1985), terutama pada Bab. 2.
[10] Paulo Friere, Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan, (trj), (Jakarta : Gramedia, 1984), hlm. 6 – 7.
[11] Ignas Kleden, “Pengantar” dalam Sudjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
[12] Sudjatmoko, Pembangunan dan Pembebasan, (Jakarta : LP3ES, 1984).
[13] M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. xvi.
[14] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, hlm. 49-52
[15] Lihat juga Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 457.
[16] Samuel Bowles dan Herbert Gintis, “Pendidikan Revolusioner” dalam Menggugat Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 428-433.
[17] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yoyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 34 – 35.
[18] Lihat misalnya Musa dengan melakukan pembebasan bagi kaum Israel atas Fir’un, Luth dengan upaya membebaskan kaumnya dari “hegemoni” nafsu heteroseksual, Ibrahim melakukan pembebasan dari tekanan Namruj, dan lainnya.
[19] Jalaludin rahmat menyebutnya sebagai seorang “Reformis”, karena kemampuan Nabi dalam melakukan pembaharuan diberbagai bidang kehidupan masyarakat Islam di Semenanjung Arabia. Lihat Jalaludin Rahmat, Reformasi Sufistik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2002), hlm 17 – 20.
[26] Syafi’i Ma’arif, “Pendidikan Islam Sebagai Paradigma Pembebasan” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1991), hlm. 25.
[27]"Menurut Al Qur’an, mempelajari kitab alam akan mengungkapkan rahasia-rahasianya kepada manusia dan menampakkan koherensi (keterpaduan), konsistensi dan aturan di dalamnya. Ini akan memungkinkan manusia untuk menggunakan ilmunya sebagai perantara untuk menggali kekayaan-kekayaan dan sumber-sumber yang tersembunyi di dalam alam dan mencapai kesejahteraan material lewat penemuan-penemuan ilmiahnya” lihat Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, (trj), Bandung ; Mizan. 1990), hlm. 54.
Today, there have been 5 visitors (60 hits) on this page!