hanafie - Membangun Pembelajaran Sufistik; Mempertimbangkan Kesadaran Pluralitas dalam Pendidikan Islam


Abstrak; Perbedaan seringkali menjadi sebuah persoalan yang cukup mengkhawatirkan di Negeri ini. Karena kompleksitas perbedaan etnis, bahasa, dan Agama yang mewarnai Penghuni Negeri ini, justru telah menorehkan “sejarah hitam”. Berbagai kasus pertikaian yang berbasiskan Perbedaan tersebut, semakin memperkuat untuk membangun sebuah kerangka Filosofis, yang tidak memiliki tendensi untuk saling mencaci antara satu dengan yang lainnya.

Pendidikan sebagai salah satu media yang paling efektif dalam melakukan transformasi ide-ide ini, dituntut untuk menciptakan sebuah model pembelajaran yang tidak melibatkan persoalan-persoalan perbedaan etnis, bahasa, dan Agama. Salah satu upaya itu adalah dengan membangun sebah model pembelajaran Sufistik, yaitu sebuah upaya mensintesiskan kekayaan intelektual (rasionalitas) dengan kekayaan spritual yang berbasis pada penggalian sisi batiniyyah, yang mempertautkan dimensi terdalam manusia.

Pembelajran Sufistik ini, melibatkan makna substansi dari khazanah kaum sufi yang lebih melibatkan spritualitas sebagai basis untuk mentransendensikan setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Sehingga manusia tidak terjebak pada makna-makna simbolik yang justru “mengkavling” manusia pada perbedaan.

 

Kata Kunci ; Pluralitas dan Pembelajaran Sufistik.

 

Pengantar

Inti dari cita-cita pendidikan, terutama pendidikan agama Islam adalah terbentuknya manusia yang beriman, cerdas, kreatif, dan memiliki keluhuran budhi. Tugas utama pendidikan adalah upaya secara sadar untuk mengantarkan manusia pada cita-cita tersebut, dan pendidikan Islam juga memiliki fungsi mengarahkan kehidupan dan keberagamaan manusia kearah kehidupan Islami yang ideal.[1] Jika upaya pendidikan mengalami kegagalan dalam mengantarkan manusia kearah cita-cita manusiawi yang bersandar pada nilai-nilai ke-Tuhanan, maka yang akan terjadi adalah tumbuhnya prilaku-prilaku negatif dan destruktif, seperti kekerasan, ketidakpedulian sosial, dan lain sebagainya, yang semuanya itu mengakibatkan penderitaan semesta.

Berbagai prilaku-prilaku destruktif tersebut, yang sering muncul dinegara Indonesia, merupakan akibat dari belum munculnya pribadi-pribadi cerdas, kreatif, dan berbudhi luhur. Orang yang cerdas akan selalu menggunakan nalar manusiawinya secara benar dan obyektif dalam melihat realitas sosial. Orang yang kreatif, mempunyai pilihan-pilihan dalam memenuhi dan menjawab persoalan-persoalan hidupnya. Orang yang ‘Arif (seakar kata dengan ‘Urf, tradisi) dan luhur budhi (dalam bahasa agamanya al-Akhlâq al-Karîm), mampu menentukan pilihan yang paling tepat dan selalu menolak cara-cara kekerasan dalam mensikapi berbagai dilemma kehidupan. Kecerdasan dan kearifan yang bersumber pada daya kritis atas nilai diri dan sosial, sehingga mampu memberikan sinaran yang selalu tumbuh terhadap kepedulian pada sesama.[2]

Apabila kita membuka kembali lembaran sejarah kekerasan dinegara kita, maka kita akan melihat kompleksitas kekerasan yang melibatkan ranah perbedaan pemahaman ke-Tuhanan atau keagamaan. Fakta ini dapat kita lihat, misalnya di Pekalongan (1995), di Tasikmalaya (1996), di Rengasdenglok (1997), di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat (1996 dan 1997) juga Ambon dan Maluku (1999). Bahkan beberapa pengeboman yang terjadi pada akhir-akhir ini di Indonesia, mempunyai akar sangat kuat terhadap adanya perbedaan pemahaman (baca ; keyakinan) ke-Tuhanan. Padahal jauh sebelumnya, Arnold Toynbee (1975 – 1989) sudah memperingatkan kepada kita bahwa “tidak seorangpun dapat menyatakan dengan pasti, bahwa sebuah agama lebih benar dari agama lain”.[3]

Secara historis-sosiologis, pluralitas keagamaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, karena ia memang merupakan sunnatullah, sebab semua yang diciptakan didunia ini penuh degan keragaman. Agama lahir dan turun, tidak lepas dari konteks ruang dan waktu, sekaligus sangat terkait dengan kualitas individu dan mayarakat dalam memahami setiap pesan yang diajarkan setiap agama. Setiap orang atau masyarakat tertentu akan menggunakan simbol-simbol tertentu dalam mengekspresikan nilai keagamaan tersebut. Karena setiap individu dan kelompok masyarakat, mempunyai kultur yang beragam, maka ekspresi sebuah agama pun secara cultural dan simbolik, akan beragam pula. Contoh yang sangat sederhana adalah perbedaan bahasa. Sehingga meskipun pesan Keesaan Tuhan pada substansinya sama, tetapi formula bahasanya berbeda.

Oleh karena itu, realitas kemajmukan dan keberagaman yang hidup di Indonesia, merupakan kenyataan historis yang tidak terbantahkan oleh siapa pun. Dapat dibayangkan bagaiman kualitas tingkat kenyamanan, ketenangan, keharmonisan, dan kedamaian suatu masyarakat ber-Tuhan yang beragam atau pluralistic, jika masing-masing pihak (yang berbeda pemahaman ke-Tuhanan) tertutup untuk menklaim bahwa pemahaman dan tradisi keagamaan dirinyalah yang paling sempurna dan benar. Akan tetapi, akan menjadi sebuah perpecahan dan bahkan menimbulkan suasana saling mengancam, ketika hubungan keberagamaan manusia berkembang menjadi kesalah-pahaman. Sehingga menimbulkan prasangka-prasangka sosiologis dan teologis, yang pada akhirnya berujung pada sikap saling curiga antar umat beragama. Dan dapat kita lihat, selama berabad-abad sejarah interaksi umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan, dengan dalih “Demi mencapai ridho Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari Yang Maha Kuasa”.[4]

Dalam konteks inilah, pendidikan agama Islam sebagai salah satu media penyadaran umat, dihadapkan pada problem begaimana mengembangkan sebuah pemahaman ke-Tuhanan (teologi) yang inklusif dan pluralis. Sehingga masyarakat Islam akan menyadari akan keberagamaan yang plural. Dengan tertanamnya kesadaran akan adanya pemahaman yang multicultural dan pluralis, maka akan berimplikasi pada corak pemahaman ke-Tuhanan yang hanif dan toleran.

 

Problem Teologis dalam Pendidikan Islam

Adalah menjadi sebuah persoalan, jika konsepsi subyektif sesorang tentang Tuhan termanifestasikan ke realitas sosial yang kemudian diklaim menjadi realitas obyektif. Karena jika kesadaran ber-Tuhan ini, didasarkan pada pemahaman subyektif, maka akan berimplikasi sangat luas pada ranah filosofi pendidikan Islam, terutama pada konsep pembelajaran tauhid kepada peserta didik. Dalam proses belajar mengajar, pemahaman subyektif tentang Tuhan ini, akan menjadikan proses pembelajaran tampak kaku dan doctrinal, bukan pada proses pengembangan sikap dan nalar kritis peserta didik. Akibatnya, muncul generasi yang bernalar “negatif” terhadap perbedaan dan heterogenitas.

Pendidikan agama pada selanjutnya, hanya menjadi beban yang memasung anak didik. Anak didik lalu merasa tertekan dan tersiksa, tanpa bisa menikmatinya.[5] Inilah yang mungkin  di sebut oleh Kurt Singer sebagai schwarzer paedaghogic.[6] Tidak mengherankan jika kemudian, pelajaran agama justru menjadi belenggu dan momok bagi anak didik.[7] Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Universitas Indonesia (UI) misalnya, ditemukan bahwa pelajaran dan guru yang tidak favorit dikalangan siswa adalah pelajaran dan guru Agama.[8] Salah satu penyebabnya, karena pendekatan yang digunakan biasanya sangat verbalistik, tidak menyentuh pada kesadaran emosional. Atau kata Nurcholis Madjid, ketika mengomentari hasil dari survey tim UI tersebut, pendekatan yang dipakai tidak adanya sentuhan Cinta kasih.

Pembelajaran ke-Tuhanan pada selanjutnya kurang menekankan, meminjam istilah Kuntowijoyo, obyektivikasi paham inklusif dan pluralisme dalam ber-Tuhan dilembaga-lembaga formal, seperti Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas bahkan Perguruan Tinggi. Hal ini, karena mengingat pelajaran Agama dilembaga-lembaga formal lebih mengarah pada semangat misionaris dan dakwah, yang senantiasa meneguhkan Truth Claim.[9] Akibatnya, peserta didik sebagai pemeluk Agama, tergiring untuk mengatakan “hanya pemahamanku yang benar, dan yang lain adalah Kafir”.[10] Tidak heran jika kemudian ada sebuah Sekolah Dasar di kawasan Jakarta Selatan terjadi “tawuran” siswa antar pemeluk agama, setelah mereka belajar Agama di kelas.[11]

Keadaan ini dikarenakan berangkat dari tradisi pengajaran di era klasik-skolastik, yang lebih cenderung menekankan aspek “keselamatan individu” dengan “Tuhan” mereka, ketimbang “keselamatan kolektif” dengan “Tuhan” mereka. Sehingga menjadikan siswa kurang sensitive atau kurang peka terhadap nasib penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, lebih-lebih yang kebetulan mempunyai “konsepsi” tentang Tuhan yang berbeda (baca : Agama lain). Demikian ini, bisa saja terjadi, karena adanya keyakinan yang sangat mengakar ; bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau seagama adalah “lawan” secara aqidah.

Tuhan yang selama ini dianggap atau diyakini oleh para pendidik adalah baik, rahman, rahim, ternyata berbeda dengan Tuhan yang diyakini orang lain. Perbedaan pemahaman tentang Tuhan ini, bukannya dijadikan sebagai bahan renungan akan keniscayaan pluralisme masyarakat, dan pemahaman tentang Tuhan, tetapi dijadikan sebagai ajang bagi proses “konservasi” (pengawetan) paham tersebut. Hal ini terbukti dengan materi-materi dasar agama, yang sangat jarang menyentuh pada isu-isu heterogenitas dan pluralisme paham atau agama.[12]

Proses pembelajaran yang bersifat teosentris (atas nama Tuhan), akan melahirkan generasi yang lemah dalam kepekaan sosialnya, dalam arti kurang memiliki sense of sensibility, karena berpatokan pada “jaminan Teosentrisme” yang sangat egois. Tuhan dipandang sebagai hak miliknya, sementara orang lain yang mempunyai Tuhan yang berbeda, bukan bagian dari dirinya. Disamping itu, perbuatan-perbuatan amaliyah hanya berusaha bagaimana “membahagiakan” Tuhannya sendiri, bukan bagaimana juga “membahagiakan” Tuhan orang lain. Bahkan mengesampingkan upaya mensejahterakan, mengasihi, dan membahagiakan sesamanya. Disinilah humanisme menjadi kering, sehingga nilai-nilai profetik dari agama-agama terhambat oleh egoisme dalam beragama.

 

Pluralitas Sebagai Sebuah Keniscayaan Ber-Tuhan

Jika dilihat dari sisi Tuhan,[13] agama memang tunggal dan tidak ada pluralitas disana, karena Tuhan adalah Tunggal dan Mutlak. Tetapi jika dilihat dari aspek turunnya sebuah agama kewilayah manusia, maka agama menyejarah dalam kehidupan manusia.[14] Hal ini adanya perbedaan relatifitas waktu dan tempat. Sehingga responnya pun disesuaikan dengan tuntutan zaman dan kondisi historisnya. Maka ketika Allah mengutus Nabi dan Rasul-Nya, untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya (al-Wasiyah) kepada seluruh umat manusia, maka akan terjadi perbedaan syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran), karena adanya tuntutan ruang dan waktu tersebut.[15] Di sinilah interpretasi manusia ikut berperan dalam menentukan kebenaran, yang tentunya disesuaikan dengan taraf pemahaman dan pengetahuan mereka.

Menurut Hamka, nama Tuhan itu dikenali dalam segala bentuk bahasa.[16] Berbagai nama muncul, menurut kesanggupan me-rasa dan memahami Tuhan. Namun semua itu, Wujud yang dinamai adalah yang satu itu juga. Bahkan terkadang Tuhan dimonopoli oleh suatu suku, atau suatu bangsa. Padahal segenap risalah (pesan-pesan Tuhan) itu menuju kepada satu sasaran, yaitu mengarahkan tujuan manusia kepada ajaran kesempurnaan. Pokok-pokok risalah dan aqidah pertama dari masing-masing adalah sama, tiada berbeda antara satu dengan yang lainnya.[17]

Hal inilah yang menjadikan pluralisme menjadi sebuah keniscayaan dalam ber-Tuhan, karena ia adalah sunnatullah (aturan Allah), yang tidak akan  berubah. Keniscayaan ini, harus dipahami sebagai landasan pengertian mendasar, bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang ditanggung oleh para pengikutnya masing-masing. Oleh sebab itu, pemaksaan terhadap seseorang atau kelompok, meskipun atas nama Kebenaran sekalipun, bukanlah suatu hal yang bijak. Karena pada diri manusia telah dibekali naluri untuk tunduk kepada Tuhan (fithrah) dan akal, yang mampu mempertimbangkan segala sesuatu kearah yang baik (taqwa) atau kearah yang buruk (fujûr). Dengan demikian, absolutisme yang hanya untuk kelompok tertentu, haruslah diganti dnegan sikap-sikap yang apresiasif, menghargai dan menghormati pemahaman yang mereka temukan sendiri. Misalnya “Konsepsi tentang Tuhan saya tidaklah musti sama dengan konsepsi Tuhan orang lain”.

Bagi Ibn Miskawaih, manusia yang paling baik adalah dia yang paling mampu melakukan tindakan yang tepat baginya, yang mampu membedakan dirinya dengan alam yang ada. Seseorang yang pemikirannya lebih tepat dan benar serta pilihannya lebih baik, berarti kesempurnaan kemanusiaannya akan lebih besar.[18] Kesempurnaan ini akan terjalin, ketika hal itu telah dirasakan oleh orang lain. Artinya, aktualisasi kebahagiaan privat (individu) mensyaratkan akan kebahagiaan public dalam skala lintas luas, termasuk lintas iman, yang dalam bahasa Kuntowijoyo adalah obyektivikasi.

Obyektivikasi adalah konkritisasi, upaya naturalisasi kebaikan, sebuah perbuatan rasional nilai yang diwujudkan dalam perbuatan rasional atau kategori-kategori obyektif, sehingga orang luar menikmati, tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal (keyakinan atau keberagaman internal). Dengan demikian, hal ini akan menghindarkan sekularisasi antara paradigma abstrak-praksis dan dominasi dalam masyarakat, mayoritas vs minoritas.[19] Sebaliknya, keyika seseorang yang tidak mampu melakukan obyektivikasi, cenderung mengidentifikasi kebaikan sebagai milik “kami”, bukan “kita”, dalam kerangka kebersamaan.

Secara alamiyah, “kami” pada akhirnya akan mengkavling kebaikan sebagai produk paten dari sebuah keyakinan atau agama tertentu. Setiap yang Lain (the Others) harus menerima dan membayar royalty kebenaran, dengan cara mematuhi system mereka. Kondisi ini justru akan mereduksi makna universalitas dari sebuah agama. Imam Ali, mengatakan “Ada hak dan batil, dan masing-masing punya pengikut”.[20]

Mengenai semangat pluralitas ini, kaitannya dengan kesatuan tentang nilai-nilai universal dalam setiap agama, dapat kita lihat dari ungkapan Inayat Khan :

“Agama-agama banyak dan berbeda satu sama lain, tetapi hanya dalam bentuk, seperti air yang selalu merupakan unsur yang sama dan tak berbentuk. Ia hanya mengambil bentuk saluran atau bejana yang menahannya dan digunakan untuk tempatnya. Jadi, air mengubah namanya kepada sungai, danau, laut, arus, atau kolam, dan ia sama dengan agama. Kebenaran esensial adalah satu, tetapi aspek-aspeknya berbeda. Orang-orang yang berkelahi karena bentuk-bentuk luarnya akan selalu berkelahi, tetapi orang-orang yang mengakui kebenaran batin, tidak akan berselisih dan dengan demikian akan mampu mengharmoniskan orang-orang semua agama”.[21]

 

Atau dalam konteks ini, Fritjhof Schoun mengatakan bahwa agama merupakan perpaduan antara dimensi eksoteris dan dimensi esoteris atau bentuk dan substansi.[22] Secara eksoteris, agama merupakan wujud dari bentuk-bentuk sejarah manusia, yang mana bentuk-bentuk tersebut terkait oleh hukum-hukum alam. Yaitu mengalami penyusutan, perubahan dan perkembangan. Pada hakikatnya, bentuk-bentuk tersebut secara intrinsic adalah terbatas. Ia dibatasi oleh hakikat dan fungsinya sendiri. Oleh karena itu, bentuk-bentuk tersebut dimaksudkan untuk menjangkau pluralitas penganut suatu agama, maka dengan sendirinya menjadi tidak terima dan tidak menerima oleh bentuk-bentuk yang lain. Tanpa bentuk kebenaran universal, agama tidak dapat dimengerti oleh manusia. Meskipun bentuk-bentuk agama itu bersifat manusiawi, ia tetap berasal dari yang lebih tinggi dari manusia, ia berasal langsung dari Tuhan.[23]

Sedangkan dimensi esoteric agama bersifat universal, tunggal, mutlak dan abadi (religio premis), pada dimensi ini terdapat inti dari seluruh bentuk-bentuk agama. Meskipun dimensi ini lebih tinggi dari dimensi eksoteris, karena ia adalah hakikat dari kebenaran yang sejati. Namun, ia dapat dijangkau melalui simbol-simbol atau bentuk-bentuk. Bagi Schoun, pemahaman tentang perbedaan antara hakikat dan perwujudan, substansi dan bentuk atau esoteris dan eksoteris ini sangat penting. Schoun sepenuhnya menawarkan perhatian pada agama dalam realitasnya yang paling transcendent. Dari sinilah Fritjhof Schoun kemudian mengajarkan adanya kesatuan transcendent dan agama-agama (the transcendent unity of religion) yaitu kesatuan esoteris yang bersumber dari yang asal (Divine origin).[24]

Fenomena wacana ini, dalam filsafat dikenal dengan filsafat perennial, sebuah aliran filsafat yang biasanya sering dijadikan referensi bagi kaum New Age,[25] yaitu sebuah pemahaman terhadap hakikat yang sama dalam setiap agama, artinya substansi sebuah agama pada hakikatnya adalah satu, tetapi dalam bentuknya ia beraneka ragam. Bagi Nurcholis Madjid menyebut istilah ini adalah “banyak jalan menuju Tuhan yang sama”.[26]

Dalam pandangan Ibn ‘Arabi tentang pemahaman ketuhanan, agama adalah “Universal”,[27] yaitu agama yang mistikal bukan theistikal, Tuhan yang tidak dapat disifati dan dibatasi oleh suatu papun. Sehingga semua agama mengarah pada satu jalan, yaitu “jalan lurus”, jalan menuju Tuhan.[28] Maka, pluralitas akan tampak tunggal, ketika ia berakar pada Tuhan, al-Hâq. Yaitu pada sisi transendensi Tuhan, Dia adalah Mutlaq, al-Ahâdiyyah (kesesaan absolut), sementara pada wilayah imanensi, dimana Tuhan ber-tajalli melalui asma dan sifat-Nya pad semua ciptaan-Nya, Dia adalah plural, al-Wahdâniyyah (keesaan tak terhingga).

Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam memuat tentang bagaimana upaya optimalisasi terhadap kesadaran ber-Tuhan yang transenden. Kesadaran yang mengedepankan rasa aman, damai, lestari, abadi yang kemudian disertai dengan perasaan cinta dan kasih sayang diantara sesama. Selain itu, tujuan pendidikan Islam juga harus menekankan akan keniscayaan akan perbedaan pemahaman ketuhanan. Sehingga pendidikan Islam mengedepankan visi inklusivitas, yang mampu membentuk karakter manusia yang toleran dan terbuka terhadap perbedaan. Yang pada akhirnya akan tercipta pemahaman kebersamaan antar umat beragama.[29]

 

Menuju Pembelajaran Sufistik ; Memperteguh Nilai Pluralitas

Kualitas pemahaman kita atas sesuatu hal, menentukan tingkat kecerdasan kita pada hal tersebut. Tingkat pemahaman sesorang tentang Tuhan, juga menentukan tingkat kecerdasan secara spritual terhadap Tuhan. Dalam diri manusia itu sendiri ada berbagai kecerdasan yang menyangkut hal-hal seperti keilmuan, spritualitas, kejiwaan, ekonomi sosial. Tingkat kecerdasan ini, juga tidak selalu dilambangkan dengan kejeniusan otak atau kemampuan menganalisa sesuatu, karena ia melibatkan kedalaman hati (deep insight), pemahaman, dan kearifan.

Sebagai contoh, dalam bidang psikologi kontemporer kita mengenal istilah Kecerdasan Spritual (SQ), yang diperkenalkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Menurut keduanya, SQ adalah kecerdasan yang berada dibagian diri yang dalam, berhubungan dengan kearifan diluar ego atau pikiran sadar. SQ adalah kesadaran yang dengannya kita tidak hany mengakui nilai-nilai yang ada, tetapi kita juga secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.[30] Sehingga, bagi kedua tokoh ini, SQ merupakan The Ultimate Intelligens, puncak kecerdasan. Meskipun SQ tidak bergantung pada agama, tetapi SQ telah membuat agama menjadi mungkin (bahkan mungkin perlu).

Dari perspektif SQ ini, kita dapat melihat bahwa ruang spritual pun memiliki kecerdasan. Maka diantara kita bisa saja tidak cerdas secara spritual, dengan mengekspresikan keagamaannya yang monolitik, eksklusif, dan intoleran, yang seringkali berakibat pada korban konflik atas nama Tuhan. Juga sebaliknya, diantara kita bisa saja sangat cerdas secara spritual, sejauh (keberagamaan) kita mengalir dengan penuh kesadaran, tidak bersama kesadaran semu dan palsu (the false consciosness), yang seringkali menipu kita. Tetapi dengan kesadaran hati, jiwa (the soul consciosness), yang menjadi pusat spritual SQ.

Karena itu pusat SQ adalah suara hati (consciosness). Suara yang paling jernih dalam hiruk pikuk kehidupan kita, yang tidak bisa ditipu oleh siapa pun, termasuk diri kita sendiri. Kebenaran sejati, sebenarnya erletak pada conscience ini, yang menjadi suara SQ. Karenanya SQ menyingkap kebenaran sejati yang lebih sering tersembunyi (hidden truth) di tengah adegan-adegan hidup yang serba palsu dan menipu. Ketika kita menjalani hidup ini dengan palsu dan suka menipu, maka kita pun akan menjadi the false self, diri yang palsu. Disinilah peran SQ, untuk selalu mengajak dan membimbing kita menjadi the genuine self, diri yang genuine, yang asli dan otentik.

SQ hanya berada pada prototype manusia yang bersih secara spritual. Kodrat SQ adalah self its self (fithrah dlam Islam), karena mengikuti jalur eksistensi diri yang dahulu kita berasal (“perjanjian primordial” istilahnya Nurcholis Madjid dan “alam surgawi” istilahnya Filsafat Perennial), dan karenanya pula manusia selalu berada pada kondisi (istilah penganut filsafat eksistensialisme) “the peace of the allsufficience”. Dalam Islam keberadaan manusia seperti ini adalah al-Nafsu al-Muthmainnah, jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spritual dengan Ilâhi Rabbi. Disinilah tradisi spritual Islam menawarkan jalan sufi (tasâwuf), sebagai pilihan cerdas untuh menembus kecerdasan ini.

Pada kenyataannya, khazanah tasawuf ini telah mempengaruhi tradisi psikologi Barat. Misalnya Zohar dan Marshall ini, yang secara terbuka telah mengutip puisi Rumi, untuk mendukung teori kecerdasan spritualnya.[31] Hal ini semakin mempertegas bahwa betapa kayanya tradisi spritual Islam. kecerdasan yang berbasis sufistik ini, akan memberikan kearifan beragama yang lebih menekankan dimensi ruhaniyyah, dimensi esoteris dari sebuah agama.

Lewat kemampuan sufistik, yang berupaya menggali makna batini (the inner meaning) sebuah agama, menembus batas-batas eksoteris sebuah agama, tasawuf menjadi garda depan untuk melakukan diaolog antar Islam sekaligus dengan agama diluar Islam. hal ini dapat kita jumpai dari sikap tolerasi, simpati dan keterbukaan serta keramahan para sufi terhadap agama-agama lain. Misalnya al-Hallâj,[32] Dara Sikoh, seorang sufi dari thariqoh Qadiriyyah yang berusaha menjembatani jurang pemisah antara Islam dan Hinduisme dan mencapai suatu “pertemuan dua lautan”,[33] Inayat Khan yang menyebutkan bahwa semua agama secara esensial adalah satu, karena tugas dari setiap agama adalah mengembangkan jiwa kesatuan,[34] begitu juga Ibn ‘Arabi yang mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat disifati dan dibatasi oleh suatu apapun, yaitu suatu agama yang mistikal bukan sekedar theistikal. Juga dapat kita lihat penegasan Jalaluddin Rumi dalam sebuah syairnya “Aku bukanlah Muslim atau Kristen, Yahudi ataupun Zoroastrian. Aku bukanlah bumu ataupun langit, aku bukan raga ataupun jiwa”.[35] Inilah universalitas agama para sufi.[36]

Pembelajaran sufistik ini merupakan proses pembelajaran yang berupaya menggali dan memperkokoh kesejatian iman siswa, dengan memperteguh sikap-sikap toleran, keterbukaan, dan keramahan terhadap “keyakinan” orang lain. Atau dalam istilahnya Zully Qadir adalah “pembelajaran perspektif batiniyyah”.[37] Bahkan menurut Kuntowijoyo, kita perlu memasukkan kembali khazanah sufisme dalam dunia pendidikan Islam kita. Sebab untuk mentransendensikan hidup kita, manusia perlu mengambil nilai-nilai ajaran tasawuf, karena kekayaan yang terkandung didalamnya sangat menekankan aspek kedalaman (deepness) manusia.[38] Abdul Hadi WM, juga menegaskan perlunya memasukkan sstra-sastra sufi dalam pendidikan kita. Sebab baginya, sastra sufi mengandung semangat profetik.[39] Yaitu semangat yang mendorong kita untuk selalu menyambungkan dimensi sosial (kemanusiaan) dengan dimensi transcendental (ketuhanan).

Untuk menuju kearah pembelajaran sufistik tersebut, selain aspek kurikulum yang harus memuat isu-isu pluralitas, juga harus memahami kembali filosofi dan tujuan pendidikan agama,[40] serta pendekatan. Pendekatan yang selama ini hanya menitik beratkan pada pola kebenaran doctrinal dan dogmatis, yaitu dalam pengertian sangat menonjolkan kelebihan dan mengunggulkan agama yang satu, serta memperlemah dan mendiskreditkan absolutisme agama lain, harus beralih kepada pendekatan yang bebas dari penilaian terhadap suatu agama.

Agama adalah keseluruhan dari setiap sisi dari kehidupan itu sendiri. Maka ruang kelas akan terlalu sempit dan terbatas jika diharapkan mampu untuk melakukan internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Di sini perlu adanya keteladanan dan latihan-latihan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Maka sekolah pun harus mengembangkan keseluruhan nilai-nilai ajaran ketuhanan dalam setiap sisi mata pelajaran.

Amin Abdullah menambahkan bagaimana mengembangkan metodologi dan materi pendidikan agama yang relevan dengan konteks tuntunan dan tantangan zaman.[41] Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan ; Pertama, mengembangkan pembelajaran yang mengungkap sisi kesamaan ajaran dalam setiap kitab suci. Yaitu persamaan asasi antar semua kitab suci adalah Ketuhanan Yanag Maha Esa, yang merupakan nilai paling intrinsic dari setiap agama. Sementara nilai ekstrinsik aksidental dalam setiap agama, yang berupa symbol-simbol syari’ah dan ritual, harus dipahami sebagai sebuah keniscayaan dalam setiap pemahaman seseorang ketika menangkap setiap pesan Tuhan. Oleh karena itu, jangan dijadikan sebagai sumber konflik dan disharmoni, karena selain sifat ekstrinsik dari agama, masih ada sifat yang lebih fundamental, yaitu nilai-nilai intrisik-substansial.

Kedua, paradigma “kesalehan ritual” dan “kesalehan individu”harus diimbangi dengan “kesalehan sosial”. Karena terwujudnya kemanusiaan universal adalah ketika bagaimana keadilan sosial dapat ditegakkan. Dalam istilah lain adalah social contact, dimana semua individu dan kelompok mempunyai platform, hak, dan kewajiban yang sama, meskipun terdapat perbedaan ras, suku, golongan, agama, dan kepercayaan yang dianut.[42] Sehingga, perbedaan antar kelompok penganut agama, bisa saling bekerja sama, serta saling bahu membahu demi terciptanya kemanusiaan universal.

Ketiga, pembelajaran kalam dan teologi, mestinya dibarengi dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yang lebih menekankan pada filsafat sosial. Sehingga, pembahasanya lebih terbuka, substansial, dan tidak tersekat oleh predisposisi-predisposisi dan prakonsepsi-prakonsepsi yang selama ini di bangun dan dilestarikan oleh pembelajaran kalam dan teologi tradisional.

Lebih lanjut, pembelajaran sufistik ini membutuhkan metode kontemplatif dan reflektif-transendental. Inayat Khan mengartikan kontemplatif ii adalah kemampuan mempertahankan ide yang mengarah pada kesadaran manusia terhadap aktifitas duniawi yang menyibukkan. Dari kontemplatif ini, manuisa kemudian dapat memurnikan diri sendiri, membersihkan diri sendiri, membuka diri pada setiap cahaya kebenaran, dan dapat menyatukan jiwanya sendiri. Di sini, yang menjadi tujuan adalah realisasi Tuhan dalam setiap aktifitas manusia.[43] Kontemplatif ini mencoba melibatkan aktifitas intuitif manusia dalam mewarnai setiap sesuatu, secara lebih mendalam, sehingga sampai pada hati nurani manusia yang terdalam.

Sedangkan reflektif-transendental adalah suatu kerangka yang mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, melihat permasalahan yang ada disekitar siswa. Sehingga pendidikan dapat menimbulkan perubahan dalam prilaku siswa dalam setiap aktivitas keseharian, yang tercermin dalam prilaku yang luhur, nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, keadilan, kejujuran, dan lain sebagainya, yang mampu mengantarkan siswa pada yang Transenden. Di sini siswa diajak untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan, malui sajian naratif guru atas materi.[44] Penyajian naratif ini perlu menyampaikan beberapa pendapat tentang materi yang dibahas, tujuannya agar siswa lebih arif dan bijak dalam menyikapi setiap perbedaan.

Pendekatan reflektif-transendental ini, bertujuan untuk mampu memancing alam bawah sadar siswa. Konsep alam bawah sadar dan alam sadar manusia ini, sesungguhnya merupakan bagian dari setiap sisi pengalaman manusia. Akan tetapi, ada perbedaan yang khas antara keduanya. Jika alam sadar merupakan pengalaman yang telah terkanstrukl dengan baik dalam memori pikiran dan imajinasi seseoranag, maka alam bawah sadar adalah pengalaman atau kesadaran yang belum terkonstruk dalam pikiran dan imajinasi seseorang. Oleh karena itu, penekanan pada proses pembelajaran dengan pendekatan ini adalah bagaimana guru mampu memunculkan persoalan-persoalan di luar atau yang contaminate (“mengotorkan”) alam sadar dan memancing alam bawah sadar siswa.

Secara normative, model ini pernah dilakukan oleh Rasulullah, ketika ada salah seorang shahabat yang memohon untuk diperkenankan melakukan zina. Jawab Rasul pada saat itu, “Bagaimana perasaan kamu, jika orang lain menzinai orang tua kamu, atau saudara-saudara kamu?”. Sebuah jawaban, sekaligus pertanyaan yang berupaya menghentakkan alam bawah sadar shahabat tersebut, bahwa zina yang selama ini terkonstruk dengan baik dan indah dalam memori pikirannya, ternyata mampu menghantui ruang sadarnya.

Pendekatan reflektif-transendental juga membutuhkan share dan diskusi untuk mencoba membangun experience explore (pengungkapan pengalaman), yaitu siswa di coba untuk mengetahui kebenaran sesuatu, dengan melibatkan seolah-olah siswa menemukan sendiri kebenaran tersebut, meskipun guru tahu nilai dan kebenaran yang harus dimiliki oleh siswa.[45] Sehingga siswa lebih menguasai, menangkap dan mengalami sendiri.[46]

Selain itu model pendekatan reflektif-transendental ini, berupaya untuk memperkukuh nilai estetika dalam pembelajaran, yaitu pembelajaran yang tidak menekankan terhadap otoritas-otoritas kebenaran “paham” atau keberagamaan tertentu, melainkan lebih menekankan pada apresiasi terhadap gejala-gejala yang terjadi di masyarakat, melalui proses dialogis dan mencari bersama.

Model ini pernah dilakukan oleh Dennis Collins, ketika ia memberikan penafsiran tentang filsafat realitas Poulo Friere, yang ia sebut sebagai “memahami realitas, melibatkan proses mengetahaui”.[47] Artinya, siswa ditempatkan pada proses dialektikanya agar bisa eksis didalamnya. Yaitu yang memliki kemampuan merasakan dan menghayati sekaligus mengerti realitas sebenarnya, yang mampu berdialog sengan sesama ciptaan Tuhan.

 

Penutup

Ada baiknya kita memahami Tuhan sebagai Wujud Yang Tak Terbatas, sehingga kita tidak melakukan reduksi terhadap universalitas pesan Tuhan. Sebab akan menghilangkan absolutisme kebenaran dalam ber-Tuhan. Pada proses pembelajarannya nanti, Tuhan dipahami sebagai Wujud Yang Indah, Agug, Suci dan seterusnya, juga memahami-Nya melalui segala ciptaan-Nya. Konsep “kafir”, yaitu sebuah “sebutan” bagi orang-orang yang berbeda konsepsi dalam memahami Tuhan, sangat perlu untuk dihindari, karena akan berpengaruh pada perlakuan atau sikap antara satu dengan yang lainnya.

Implikasi lebih jauh adalah sikap egoisme pendidik, untuk men-tuhan-kan sikap keagamaannya, yang ditandai dengan keharusan siswa untuk mengikuti pemahaman yang dimiliki sang guru. Di sinilah sangat diperlukan sikap-sikap keteladanan dan pengalaman nilai-nilai ke-Tuhanan yang inklusif, pluralis dan toleran terhadap setiap perbedaan pemahaman ke-Tuhanan dari seluruh sivitas akademika (Kepala Sekolah, guru, siswa, TU, penjaga sekolah, tukang kebon, dll).

Sikap-sikap mengasihi dan menyayangi antar kelompok tersebut, perlu dihidupkan di sebuah lembaga pendidikan dalam setiap aktivitas keseharian. Sikap egois dan arogansi sekecil apapun, akan membuat upaya pendidikan yang bercita-cita luhur dalam membangun sikap saling mempercayai, menjadi sikap saling mencurigai, egoistis, dan eksklusif.

Sama sekali jauh dari pikiran penulis, untuk mencampuradukkan semua agama, atau untuk menyamakan semua agama, atau untuk mengecilkan arti agama Islam. sebab kesetiaan seseorang terhadap agama tidak boleh berkurang. Seperti kata Dunne, agama-agama yang diyakini seseorang ibarat “tanah air” baginya dan agama-agama lain ibarat “negeri ajaib” atau “negeri asing”. Ibarat “tanah air”, suatu agama harus dicintai oleh penganutnya sendiri. Ibarat “negara asing”, agama-agama lain tidak musti sama dengan kita atau tidak musti dijauhi dan di musuhi, tetapi sebaliknya, lebih baik didekenali, dikunjungi , didialogi, dan diakrabi, agar dapat mengambil pengalaman yang sangat berharga untuk memperkaya pengalaman keagamaannya sendiri.pengalaman yang diperoleh di “negeri asing” agama-agama lain, dapat digunakan untuk memperkaya pengalaman dan untuk membangun “tanah air” agama sendiri.

Rasa takut untuk melakukan pengembaraan spritual kedalam jantung agama-agama lain, perlu dihindari. Tentu saja proses pengembaraan itu, harus disertai dengan persiapan “bekal” pengetahuan tentang agamanya sendiri. Jangan sampai upaya ini tidak berangkat dari agamanya sendiri. Wallahu a’lam bi showab.

 
Daftar Pustaka

Abdul Munir Mulkhan, 1993. Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah, Yogyakarta : SIPRESS.

__________________, 2000. “Humanisasi Pendidikan Islam” dalam Tashwirul Afkar, No 11, tahun 2000.

Alwi Shihab. 1998. Islam Inklusif, Bandung : Mizan.

Andito, “Obyektivikasi Islam” dalam Jurnal Al-Huda, vol. 2, No 8, 2003, hlm 1.

AE. Afifi, 1989. Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi (trj). Jakarta : Gaya Media Pratama.

Amin Abdullah, 2002. “Kerukunan Umat Beragama ; Perspektif Filosofis-Pedagogis” dalam Jurnal Multikultural dan Multireligius. Tahun 2002.

____________, 2000. “Agama dan Harmoni Kebangsaan ; Perspektif Pemikiran Islam Kontekstual” dalam Tim PPN (ed). Agama dan Harmoni Kebangsaan dalam Perspektif Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. (Yogyakarta : PP. Nasyiatul ‘Aisyiyyah.

____________, 2001. “Pengajaran Klalam dan Theologi dalam Era Kemajmukan di Indonesia ; Sebuah Tinjauan Materi dan Metode” dalam Th. Sumarthana (ed), Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Abdul Hadi WM, 1998. “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998.

AG. Hardjana, dkk, 2001. Pendidikan Religiusitas Sebagai Pengganti Pendidikan Agama ; Usaha Terobosan Pendidikan humaniora. Yogyakarta : LPKP.

Danah Zohar dan Ian Marshall. 2001. SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup, (trj), Bandung : Mizan.

Dennis Collins, 1999. Poulo Friere ; Kehidupan dan Karya Pemikiarannya, (trj), Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Fritjhof  Schoun, 1975. The Trancendent Unity of Religions, New York : Harper & Row.

Fathimah Ustman. 2002. Wahdâtul Adyân ; Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta : LKiS.

Huston Smith, 2002. Islam (trj), Yogyakarta : Pustaka Sufi.

Hamka. 1985. Filsafat Ketuhanan. Surabaya : Karunia.

Hazrat Inayat Khan. 2003. Kesatuan Ideal Agma-Agama, (trj), Yogyakarta : Putra Langit.

Inayat Khan, 2002. Kehidupan Spritualitas ; Tiga Esai Klasik Tentang Kehidupan Ruhani, (trj), Yogyakarta : Pustaka Sufi.

Kuntowijoyo, 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung : Mizan.

__________, 1998. “Krisis Kebudayaan ; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Prilaku” dalam Republika, edisi Rabu 16 Desember.

Kautsar Azhari Noer, 1994. “Memperkaya Pengalaman Keagamaan Melalui Dialog” Dalam Ulumul Qur’an, Edisi khusus no 5 & 6 vol. V, Tahun 1994,

­_________________, 1999. “Menyemarakkan Dialog Agama (Persapektif Kaum Sufi)” dalam Edy A. Effendi (ed), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, Bandung : Zaman Wacana Mulia.

_________________, 2003. Tasawuf Perennial ; Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta : Serambi.

Komaruddin Hidayat, 1996. Memahami Bahasa Agama ; Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta : Paramadina.

________________, 2002. “Ketika Agama Menyejarah” dalam al-jami’ah, vol. 40. No 1, January - Juni 2002.

Luthfi Asyaukani, 2003. “Pendidikan Agama Melalui Pelajaran Umum” dalam Kompas, edisi Sabtu 11 Maret 2003.

Muhammad Wahyuni Nafis, “Membangun Islam Inklusif dalam Kehidupan” Dalam Kompas, edisi 3 Agustus 2001

Moch. Kosim, 2003. Pluralisme Agama dalam Pendidikan Agama Islam ; Telaah Atas Materi Pendidikan Agama Islam Untuk SMU Kurikulum 1994, Fakultas Tarbiyah, IAIN Sunan Kalijaga, 2003.

M. Salthut, 1994. Aqidah dan Syari’ah Islam, (trj), Jakarta : Bumi Aksara.

Nurcholis Madjid, 1995. Islam Agama Kemanusiaan ; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di Indonesia. Jakarta : Paramadina.

_____________, 1999. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina.

Paul Suparno, “Pendidikan Agama di Sekolah Model KBK” dalam Basis, No 07 – 08, tahun ke 52, juli – Agustus 2003, hlm 31 – 32.

ST. Sunardi. 2002. “Ilmu Sosial Berbasis Sastra ; Sebuah Catatan Awal” dalam Basis, nomor 11 – 12 tahun ke-15, November – Desember 2002.

Sukidi. 2001. New Age ; Wisata Spritual Lintas Agama, Jakarta : Gramedia.

Zully Qadir, “Dibutuhkan Pendidikan Agama yang Menjiwai” dalam Kompas, edisi Sabtu 15 Maret 2001.


[1] AbdulMunir Mulkhan. Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah, (Yogyakarta : SIPRESS. 1993) hlm 237.

[2] Abdul Munir Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan Islam” dalam Tashwirul Afkar, No 11, tahun 2000, hlm 11.

[3] Di kutip dari catatan Khamami Zada “Memebebaskan Pendidikan Islam dari Eksklusifisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme” dalam Tashwirul Afkar, No 11, tahun 2000, hlm 2 – 3.

[4] Alwi Shihab. Islam Inklusif, (Bandung : Mizan. 1998) hlm 40.

[5] Jamaluddin “Matrealisme dalam Pendidikan Agama”. Loc Cit.

[6] Sebagaimana yang disebut oleh Sindhunata dalam Harian Kompas, edisi 19 februari 2001.

[7] Media Indonesia, edisi 23 April 2001.

[8] Media Indonesia, edisi 3 Mei 2001.

[9] Muhammad Wahyuni Nafis, “Membangun Islam Inklusif dalam Kehidupan” Dalam Kompas, edisi 3 Agustus 2001

[10] Lihat misalnya kasus dialogis yang dilakukan oleh Kautsar Azhari Noer dengan temannya, santri Pondok Modern Gontor pada tahun 1973, dalam salah satu pembicaraan mereka, sang teman tadi berkata kepada Kautsar Azhari Noer “Jika orang Kristen lewat di depan rumahku, maka aku akan lempar dia dengan batu, karena ia Kafir”. Lihat Kauttsar Azhari Noer, “Memperkaya Pengalaman Keagamaan Melalui Dialog” Dalam Ulumul Qur’an, Edisi khusus no 5 & 6 vol. V, Tahun 1994, hlm 105.

[11] Muhammad Wahyuni Nafis, Op Cit.

[12] Menurut penelitian Kosim, dalam kurikulum SMU tahun 1994 telah terdapat semangat pluralisme. Tetapi materi kerukunan umat beragama itu tidak serta merta kuat untuk membentuk karakter siswa yang sensitive terhadap perbedaan dan pluralisme. Hala ini menurut Kosim, dikarenakan kurangnya porsi waktu dan perhatian terhadap tema kerukunan umat beragama tersebut. Lihat laporan Skripsi Moch. Kosim. Pluralisme Agama dalam Pendidikan Agama Islam ; Telaah Atas Materi Pendidikan Agama Islam Untuk SMU Kurikulum 1994, Fakultas Tarbiyah, IAIN Sunan Kalijaga, 2003.

[13] Karena setiap agama menyakini  akan kemutlakan Tuhan Yang Esa, tidak ada satu pun agama yang mamandang  Tuhan sebagai wujud yang mejemuk.

[14] Salah satu tulisan yang membahas tentang aspek “kesejarahan” dari agama (Islam) dapat dibaca tulisan Komaruddin Hidayat, “Ketika Agama Menyejarah” dalam al-jami’ah, vol. 40. No 1, January - Juni 2002.

[15] Nurcholis Madjid. Islam Agama Kemanusiaan ; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di Indonesia. (Jakarta : Paramadina. 1995) hlm 138 – 139.

[16] Hamka. Filsafat Ketuhanan. (Surabaya : Karunia. 1985) hlm 37.

[17] M. Salthut. Aqidah dan Syari’ah Islam, (trj), (Jakarta : Bumi Aksara. 1994) hlm 28.

[18] Andito, “Obyektivikasi Islam” dalam Jurnal Al-Huda, vol. 2, No 8, 2003, hlm 1.

[19] Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. (Bandung : Mizan. 1997) hlm 66 – 68.

[20] Ali Bin Abi Thalib, Najhul Balaghoh, khutbah 16.

[21] Hazrat Inayat Khan. Kesatuan Ideal Agma-Agama, (trj), (Yogyakarta : Putra Langit. 2003) hlm 28.

[22] Fritjhof  Schoun, The Trancendent Unity of Religions, (New York : Harper & Row. 1975) hlm 7 – 13.

[23] Ibid.

[24] Ibid.

[25] Sukidi. New Age ; Wisata Spritual Lintas Agama, (Jakarta : Gramedia. 2001) hlm 43.

[26] Dalam salah satu bukunya Nurcholis Madjid mencatat bahwa : “sebaik-baiknya agama disisi Allah adalah semangat mencari kebenaran yang lapang, tidak sempit, toleran, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa yang terbuka. Sebab itu Islam harus dipahami sebagai ajaran dan cita-cita yang intinya adalah sikap hidup berserah diri kepada Tuhan”. Di tambahkan pula bahwa “Islam adalah sebuah ide, sebuah cita-cita kemanusiaan yang universal. Pemahaman kita tentang Islam adalah pemahaman yang terbuka, yang karena keterbukaannya, ia bersikap inklusif dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Lihat Nurcholis Madjid. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. (Jakarta : Paramadina. 1999).

[27] Agama “Universal” ini dapat di identifikasi melalui salah satu syair Ibn ‘Arabi, My heart has became capable of every form ; it is a pastore for gazelles and a convent for Cristian monks. And a temple for idols and the pilgrim’s Ka’ba and the tables of the torah and the book of the Koran. I  follow the religion of the Love ; Whothever way Love’s camels take, that is my religion and the my faith. (Sungguh hatiku telah menerima setiap bentuk, yaitu padang gembala untuk dua kijang dan Kuil untuk dua pendeta. Dan rumah berhala-berhala, Ka’bah orang thawaf, lembaran-lembaran Taurat, dan al-Qur’an. Apakah itu agama dengan agama Cinta ; aku sedang menghadap susunan-susunannya, karena Cinta itu agamaku dan imanku). SH. Nasr. The Trhee Muslem Sages, hlm 118.

[28] Istilah lainnya adalah al-Thâriq al-Amâm, yaitu “jalan kesatuan Esensial”. Lihat AE. Afifi, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi (trj). (Jakarta : Gaya Media Pratama. 1989) hlm 203.

[29] Lihat Amin Abdullah, “Kerukunan Umat Beragama ; Perspektif Filosofis-Pedagogis” dalam Jurnal Multikultural dan Multireligius. Tahun 2002, hlm 25 – 37.

[30] Danah Zohar dan Ian Marshall. SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup, (trj), (Bandung : Mizan. 2001) hlm 8 – 9.

[31] Teks lengkapnya, dapat dilihat dapa bukunya halaman 9.

[32] Perbincangan panjang mengenai pandangan al-Hallâj ini, dapat dibaca bukunya Fathimah Ustman. Wahdâtul Adyân ; Dialog Pluralisme Agama. (Yogyakarta : Lkis. 2002).

[33] Lihat Kautsar Azhari Noer. “Menyemarakkan Dialog Agama (Persapektif Kaum Sufi)” dalam Edy A. Effendi (ed), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Bandung : Zaman Wacana Mulia. 1999) hlm 74 – 75.

[34] Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perennial ; Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta : Serambi. 2003) hlm 46.

[35] Di kutip dari Huston Smith, Islam (trj), (Yogyakarta : Pustaka Sufi. 2002) hlm 114.

[36] Mengenai agama universal ini, Komaruddin memberi catatan ; Pertama, jika universalitas dipahami sebagai uni-verse, maka Islam adalah tunggal, unik, tidak terpecah-pecah, telah sempurna. Kedua, maka Islam berlaku dimana saja, melewati batas-batas suku, wilayah bangsa dan benua. Lihat Komaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama ; Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta : Paramadina. 1996) hlm 88 – 90.

[37] Zully Qadir, “Dibutuhkan Pendidikan Agama yang Menjiwai” dalam Kompas, edisi Sabtu 15 Maret 2001.

[38] Kuntowijoyo menyebutkan ; “Substansi sufisme seperti khauf (penuh rasa takut), Rajâ’ (sangat berharap), Qonâ’ah (menerima pemberian Allah), Tawakkal ((pasrah), Syukûr, Ikhlâs dan sebagainya, dapat menjadi materi pendidikan Islam”. Sementara dalam pendidikan moral, dia menambahkan “kalau direct theaching tidak sesuai lagi, dan tidak examplery center yang dipercayai, maka târikh Nabi, para Shahabat, dan teladan orang-orang suci dapat dimasukkan. Demikian juga sejarah, mitos dan sastra”.  Lihat Kuntowijoyo, “Krisis Kebudayaan ; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Prilaku” dalam Republika, edisi Rabu 16 Desember 1998).

[39] Abdul Hadi WM, “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998, hlm 184.

[40] Kesalahan yang menurut Luthfi Asyaukani terhadap pendidikan kita adalah agama di pandang sebagai sumber kebaikan dan ketentraman, yang bisa memnyelesaikan persoalan-persoalan moralitas. Sementara pelajaran agama mendapat porsi yang sangat kecil, dan pelajaran-pelajaran umum dilepas tanggung jawabnya dari pesan-pesan moral, khususnya sekolah-sekolah umum. Lihat tulisan Luthfi Asyaukani, “Pendidikan Agama Melalui Pelajaran Umum” dalam Kompas, edisi Sabtu 11 Maret 2003.

[41] Amin Abdullah, “Agama dan Harmoni Kebangsaan ; Perspektif Pemikiran Islam Kontekstual” dalam Tim PPN (ed). Agama dan Harmoni Kebangsaan dalam Perspektif Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. (Yogyakarta : PP. Nasyiatul ‘Aisyiyyah. 2000) hlm 10 – 13.

[42] Lihat Amin Abdullah, “Pengajaran Klalam dan Theologi dalam Era Kemajmukan di Indonesia ; Sebuah Tinjauan Materi dan Metode” dalam Th. Sumarthana (ed), Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2001) hlm 254.

[43] Dengan realisasi ini, maka seseorang telah memenuhi spritualnya sendiri. Lihat Inayat Khan, Kehidupan Spritualitas ; Tiga Esai Klasik Tentang Kehidupan Ruhani, (trj), (Yogyakarta : Pustaka Sufi. 2002) hlm 66.

[44] Sajian naratif ini sangat penting, jika dimbangi dengan sastra, karena lebih memanjakan imajinasi sosial. Menurut ST. Sunardi, teori naratif ini telah memberikan tatanan baru dalam menyoal tentang sosial. Sebab dalam proses pengisahan ini, seseorang bukan saja hanya mencari tempat tatanan, melainkan berusaha menata dunia, dimana ia hidup yang lebih dinamis, pluralis, dan relasional. Lihat ST. Sunardi. “Ilmu Sosial Berbasis Sastra ; Sebuah Catatan Awal” dalam Basis, nomor 11 – 12 tahun ke-15, November – Desember 2002, hlm 13.

[45] Model ini telah banyak dikembangkan oleh Tim Puskat Semarang, yaitu melalui pengembangan pendidikan religiusitas. Lihat buku yang ditulis oleh AG. Hardjana, dkk, Pendidikan Religiusitas Sebagai Pengganti Pendidikan Agama ; Usaha Terobosan Pendidikan humaniora. (Yogyakarta : LPKP. 2001).

[46] Bandingkan dengan tulisan Paul Suparno, “Pendidikan Agama di Sekolah Model KBK” dalam Basis, No 07 – 08, tahun ke 52, juli – Agustus 2003, hlm 31 – 32.

[47] Dennis Collins, Poulo Friere ; Kehidupan dan Karya Pemikiarannya, (trj), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1999) hlm 74.

Today, there have been 1 visitors (7 hits) on this page!

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free