Aku Lebih Baik Daripada Dia”
Pada suatu hari, di hadapan Nabi Muhammad saw. para shahabat sedang memperbincangkan shahabat lainnya yang memiliki tingkat keshalehan lebih tinggi dari pada mereka. Nabi pada saat itu tidak memberikan komentar sedikitpun tentang shahabat yang shaleh tersebut. Padahal, Nabi adalah sosok yang paling suka memuji kebaikan orang, meski sekecil apapun.
Tiba-tiba datanglah seseorang “inilah orang yang kami bicarakan, wahai Rasul Allah”, kata para shahabat. Nabi yang mulia berkata “tetapi aku melihat bekas usapan setan di wajahnya”. Orang itu setelah mengucapkan salam, kemudian duduk di majelis Nabi. Lalu Nabi mendekatinya dan bertanya “Apakah setiap kamu masuk kedalam kumpulan orang, kamu merasa bahwa kamulah yang paling baik diantara mereka?”. Ia menjawab, “benar”. Tidak lama kemudian orang “shaleh” itu bangkit dan pergi sholat ke masjid. Tanpa diduga Nabi bersabda “Siapa yang akan membunuh orang itu?” Abu Bakar orang pertama yang menyatakan kesediaan untuk membunuhnya. Tetapi, sesaat kemudian Abu Bakar kembali sambil berkata “Bagaimana mungkin saya membunuhnya, sementara ia sedang rukuk dengan sangat khusyuk”. Ketika Nabi mengulangi pertanyaannya, Umar berdiri menuju orang tersebut. Ia juga kembali dengan mengajukan keberatan “Tidak mungkin saya membunuhnya. Ia sedang meratakan dahinya diatas tanah, bersujud dengan sangat khidmat”. Hingga sampai pada giliran Ali untuk berdiri dan menuju ke masjid orang tersebut. Tetapi ia pun kembali dengan pedang yang bersih. Ali melaporkan bahwa orang tadi sudah tidak berada lagi didalam masjid. Kemudian Nabi bersabda “Jika kalian membunuh dia, umatku tidak akan terpecah setelah ini”.
Kisah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, lebih merupakan parable ketimbang makna harfiahnya. Nabi tidak mengajarkan kepada umatnya untuk membunuh orang yang sedang sholat. Akan tetapi, Nabi mengajarkan kepada umatnya, untuk tidak terbuai oleh tingkat keshalehannya sendiri. Keshalehan dalam beragama bukanlah sebuah show business.
Tidak untuk membusungkan dada dihadapan orang banyak. Tidak untuk menyebut-nyebut keshalehannya di hadapan orang lain. Jauh sebelum peristiwa tersebut. Alkisah, suatu saat, Nabi Musa diminta oleh Allah untuk mencari seseorang yang menurut Nabi Musa lebih baik dari pada dirinya. Setelah Nabi Musa mencari dengan bersusah payah, akhirnya Nabi Musa tidak menemukan orang itu. Karena selalu ada hal lain yang menjadikan orang itu lebih baik dari pada Musa. Karena gagal, Musa kemudian masuk ketengah-tengah binatang. Dalam diri binatang pun Nabi selalu menemukan hal-hal yang lebih baik dari pada Nabi Musa.
Sampai ahirnya Nabi Musa menemukan anjing yang buruk rupa, disekujur tubuhnya penuh dengan kudis, sehingga bulu-bulunya berjatuhan. Akan tetapi, ditengah jalan Nabi Musa melepaskan anjing tersebut. Kemudian Nabi Isa kembali menghadap Tuhan, sambil berkata “Tuhan, aku tidak menemukan seorangpun yang aku lebih baik darinya”. Tuhan lalu berfirman “Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang membawa seseorang yang kamu pikir, kamu lebih baik dari pada dia, maka Aku akan hapus namamu dari daftar kenabian”. Kata ana khairun minhu, atau “aku lebih baik dari pada dia” pertama kali diucapkan oleh Iblis untuk menunjukkan kesombongannya, superiority complex, di hadapan Allah. Yaitu ketika Iblis diminta oleh Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam, akan tetapi Iblis menolak sembari berkata “Aku lebih baik dari pada dia. Kau ciptakan aku dari api, sementara Adam kau ciptakan dari Tanah”.
Kesombongan ini, merupakan keangkuhan geneologis atau keturunan. Iblis merasa secara geneologis lebih baik dari pada Adam. Sehingga sering disebut sebagai rasialisme. Pada aras ini, ketika seseorang menyebut dirinya atau kelompoknya “lebih baik dari pada yang lain” adalah sama dengan apa yang dilakukan Iblis yang mengakibatkan dia di “lempar” dari surga. Jika pada cerita yang pertama menegaskan bahwa keshalehan yang kita miliki, yang kemudian disertai dengan sikap bahwa dirinya merasa lebih sholeh daripada yang lain, merupakan sikap yang sangat dibenci oleh Nabi Muhammad, maka pada cerita yang kedua memberikan pelajaran kepada kita bahwa tidak selayaknya sebuah kelompok atau golongan menganggap lebih baik dari pada kelompok atau golongan yang lain.
Manifestasi dari sikap yang kedua ini, sangat banyak terlihat dilapangan. Misalnya dengan memberikan peluang sebesar-besarnya bagi kelompok atau golongannya untuk menduduki posisi-posisi strategis diwilayah public, kemudian memberikan proteksi yang seluas-luasnya pula bagi kelompok atau golongan lainnya. Sementara pada sikap yang pertama, tidak jarang diantara kita yang selalu menyebut-nyebut kesholehannya dihadapan orang lain. Hal ini secara tidak langsung, menjastifikasi dirinya yang paling “shaleh” dari pada yang lain. Wallahu a’lam bi al-Showab