hanafie - Reaktualisasi Makna Hijrah


Dalam sejarah social umat Islam, satu Muharam merupakan peristiwa besar yang menjadi tonggak sejarah baru bagi peradaban umat Islam. Meskipun Muhammad sebagai inspirator dan aktor dalam proses hijrah ini, tetapi Nabi tidak memberikan ketetapan sebagai awal mula perhitungan kalender Hijriyah. Hanya ketika Umar ibn Khattab menjadi penerus kepemimpinan Abu Bakar, maka satu Muharam telah menjadi sebuah ketetapan awal tahun baru Islam.

Umar beralasan bahwa pada saat itulah, sebuah peristiwa besar yang bersejarah dalam dunia Islam di mulai. Penegakan prinsip-prinsip keadilan, menghargai ilmu pengetahuan, membela hak asasi manusia, membebaskan para budak dan mereka yang tertindas, serta menganjurkan pemerataan kekayaan melalui perintah zakat dan sedekah, telah diwujudkan ketika Nabi hijrah dari Makkah ke Yatsrib tersebut. Aktualisasi atas prinsip-prinsip tersebut di kota Yatsrib, menjadikan kota tersebut beralih nama menjadi Madinah. Karena di kota inilah, deklarasi paradigmatic mengenai cita-cita masyarakat baru yang Qur’ani terbangun.

Melihat bagaimana signifikansi perkembangan Madinah pasca hijrah, para ahli sejarah lalu menghubungkan antara hijrah ini dengan kebangkitan umat secara total. Konsep hijrah, lalu tidak saja dimaknai sebagai sebuah perpindahan fisikal semata, melainkan upaya yang hakiki tentang “perubahan” paradigmatic seseorang mengenai sikap dan pola fikirnya. Dalam arti yag sederhana, hijrah tidak dimaknai sebagai “perpindahan dari masa lalu ke masa sekarang” atau dari “satu tempat ke tempat lain”, melainkan sebuah “transformasi”. Transformasi tidak mengenal “waktu” maupun “tempat”, melainkan sebuah “perubahan”.

Perubahan ini, meniscayakan akan kemauan yang kuat, kegigihan yang mantap, dan cara pandang yang dinamis. Perubahan juga menghendaki sebuah proses yang menjunjung tinggi nilai tasamuh (toleransi), al-adl (keadilan), al-Syura (dialogis), dan terbuka. Perubahan menolak cara-cara “menghalalkan berbagai jalan”, meninggalkan komitmen keberagamaan, dan memperlemah system persamaan hak asasi manusia.

Menuju “Kota Madinah”

Maka, yang patut kita renungkan bersama adalah tatanan Masyarakat seperti apa yang diharapkan Nabi di “kota Madinah”? Tawaran apa yang dilakukan Nabi di Kota Madinah, sehingga menjadi kota par excellent? Kata “Madinah” yang berarti “kota peradaban”, masih seakar dengan kata “al-din” atau “religion”, yang mengandung makna ketundukan terhadap suatu hokum ataupun undang-undang yang disepakati bersama oleh warga masyarakat, dalam mewujudkan tatanan tata tertib social.

Oleh karena itu, ketika Nabi menuju “kota Madinah”, yang pertama kali dilakukan adalah membuat perjanjian atau kontrak social dengan seluruh warga Madinah, termasuk umat Yahudi dan Nasrani. Kontrak ini, sering disebut sebagai piagam madinah, yang merupakan common platform yang mengikat seluruh warga “Kota”, apapun suku dan agamanya, untuk hidup bersama, gotong royong, saling melindungi ketika ada musuh dari luar. Mereka melaksanakan berbagai transaksi ekonomi maupun social, dibawah kesadaran yang pluralistic dari segi agama dan etnik, sehingga mereka mampu membangun sebuah peradaban yang sangat modern pada zamannya, bahkan hingga saat ini.

 
Today, there have been 5 visitors (5 hits) on this page!

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free