Saat ini, kita dipertontonkan dengan berbagai adegan yang mengundang keprihatinan kita semua. Misalnya, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang mengandaikan seorang pemimpin yang “terbaik” dimasing-masing daerah, justru mempertegas adanya indikasi “premanisme” (bisa dibaca sangat bias dengan praktik-praktik uang) dalam menjaring dan mengusulkan Calon Pemimpin Daerah. Tidak heran jika kemudian proses pemilihan yang seharusnya menonjolkan kearifan (seakar dengan kata ‘urf, kebiasaan atau tradisi yang baik) dan luhur budhi (dalam bahasa agamanya al-Akhlâq al-Karîm), justru terjebak pada fanatisme terhadap figur-figur tertentu.
Kita juga, diperlihatkan dengan berbagai kasus “berdarah”, seperti kasus Tentena dan di Pamulang, Jakarta Selatan, tepatnya di depan rumah Abu Jibril atau Muhammad Iqbal. Terlepas dari unsur-unsur subyektifitas dari masing-masing prilaku, tetapi semua prilaku tersebut, jelas memberikan gambaran sangat kurangnya kedewasaan kita terhadap adanya perbedaan satu dengan yang lain.
Indikasi ketidakmampuan kita dalam menghadapi perbedaan adalah ketika kita kurang bisa menerima dan menghormati satu sama lain, bahkan cenderung bersikap emosional dalam menyikapi setiap perbedaan. Orang yang berbeda dengan kita, dianggap orang lain (untuk tidak mengatakan “musuh”) bagi kita. Lihatlah dalam keseharian hidup kita, tidak jarang kita berusaha untuk membeda-bedakan diri kita sendiri dengan orang lain, baik perbedaan jenis kelamin, warna kulit, suku bahkan agama. Asumsi atas pembedaan-pembedaan seperti itu, berimplikasi pada perbedaan perlakuan kita pada mereka yang berbeda dengan kita.
Persepsi dan prilaku tersebut, jika kita telusuri lebih mendalam, sebenarnya telah terkonstruks sedemikian rupa dalam kehidupan kita sehari-hari. Di bidang politik, kita bisa melihat bagaimana seseorang yang mempunyai pilihan politik berbeda dengan yang lain, dianggap orang yang tidak memiliki “konsep” dan “visi” yang sama dengan dirinya. Berbagai konspirasi dan kepentingan tertentu, selalu mewarnai setiap langkah (baca : kebijakan) Politikus kita. Sehingga “mengilhami” pengikut-pengikutnya untuk membela “mati-matian” langkah tersebut.
Di bidang Pendidikan, yang secara sistemik logika perbedaan dianggap melawan jika tidak sama dengan Pendidik. Peserta didik dianggap perusuh, nakal, dan pembangkang, jika dia mempunyai persepsi berbeda tentang sesuatu, dengan Pendidik mereka. Sistem Ujian Ahir Nasional (UAN) adalah bagian dari ketidaksiapan Sekolah (atau Pemerintah?) untuk menghargai perbedaan disetiap daerah, yang jelas-jelas memiliki tingkat keunikan dan kemampuan masing-masing.
Wilayah theology atau agama, juga seringkali menampilkan aragonsinya terhadap perbedaan. Agama secara historis-sosiologis, adalah sebuah keragaman yang tidak bisa dihindari, karena ia lahir dan turun, tidak lepas dari konteks ruang dan waktu, sekaligus sangat terkait dengan kualitas individu dan mayarakat dalam memahami setiap pesan yang diajarkan setiap agama. Setiap orang atau masyarakat tertentu akan menggunakan simbol-simbol tertentu dalam mengekspresikan nilai keagamaan tersebut. Karena setiap individu dan kelompok masyarakat, mempunyai kultur yang beragam, maka ekspresi sebuah agama pun secara cultural dan simbolik, akan beragam pula. Contoh yang sangat sederhana adalah perbedaan bahasa. Sehingga meskipun pesan Keesaan Tuhan pada substansinya sama, tetapi formula bahasanya berbeda. Oleh karena itu, realitas kemajmukan dan keberagaman yang hidup di Indonesia, merupakan kenyataan historis yang tidak terbantahkan oleh siapa pun. Dapat dibayangkan bagaiman kualitas tingkat kenyamanan, ketenangan, keharmonisan, dan kedamaian suatu masyarakat beragama yang beragam atau pluralistik, jika masing-masing pihak (yang berbeda pemahaman ke-Tuhanan) tertutup untuk menklaim bahwa pemahaman dan tradisi keagamaan dirinyalah yang paling sempurna dan benar. Tetapi realitasnya, justru perbedaan ini seringkali dianggap “musuh” secara ‘Aqidah. Padahal jauh sebelum kita, Arnold Toynbee (1975 – 1989) sudah memperingatkan kepada kita bahwa “tidak seorangpun dapat menyatakan dengan pasti, bahwa sebuah agama lebih benar dari agama lain”.
Di sinilah perlunya untuk belajar memahami perbedaan. Kita perlu memberikan pemahaman bahwa ada pendapat-pendapat lain dari apa yang selama ini kita pahami dan kita anggap paling benar. Kita juga harus bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan positif-negatif dan akibat dari masing-masing pendapat. Sehingga kita tidak bisa begitu saja mengklaim bahwa apa yang kita pahami dan yakini adalah satu-satunya pilihan yang paling benar. Sementara yang lain salah danpantas untuk dimusuhi.
Manusia yang paling baik, menurut Ibn Miskawaih, adalah dia yang paling mampu melakukan tindakan yang tepat baginya. Semakin tepat dan benar pola pemikirannya serta pilihannnya, maka semakin baik dan sempurna rasa kemanusaiaannya. Kebaikan dan kebajikan dikatakan dimiliki oleh seseorang, hanya bila kebaikan dan kebajikan itu juga dapat dirasakan oleh atau sampai pada orang lain. Artinya, aktualisasi kebahagiaan seseorang (privat) perlu syarat akan kebahagiaan orang lain (publik) dalam skala lebih luas. Dalam bahasanya Kuntowijoyo sebagai obyektifikasi. Sebuah perbuatan dikatakan rasional, jika didasarkan pada kategori-kategori obyektif, sehingga orang lain dapat menikmati, tanpa harus menyetujui nilai-nilai didalamnya. Sebaliknya, seseorang yang tidak dapat melakukan obyektifikasi, cenderung akan mengidentifikasi kebaikan dan kebajikan sebagai milik “kami” bukan “kita” dalam kerangka keberagaman dan perbedaan etnis, agama, dan lain sebagainya. Setiap orang harus membayar “royalty” kebenaran, dengan cara mematuhi system yang dimilikinya. Bukankah ketika Iblis diusir dari surga pertama kali, karena kesombongannya dengan “merendahkan” asal-usul Adam? Bukankah Iblis merasa dirinya diciptakan lebih baik dari Adam, sehingga ia merasa lebih tinggi derajatnya dari pada Adam?.
Aktor-aktor politik, agamawan, pendidik, dan kita semua, harus bisa Membuka kran pengetahuan dan kedewasaan bagi umat atas keniscayaan keragaman atau pluralitas, agar lebih mendewasakan umat, membuat umat semakin arif, biasa berbeda, demokratis, dan bangga dengan keragaman. Wallahu a’lam bi al-Showab.
Today, there have been 9 visitors (10 hits) on this page!