Mungkin anda heran dan bertanya-tanya ketika membaca judul diatas, kenapa sesuatu yang jelas-jelas sebuah kesalahan, justru bisa dianggap sebagai kebaikan? Tetapi, inilah yang sudah menggejala ditengah-tengah masyarakat kita. Fenomena dimasyarakat menunjukkan gejala kearah ini, dimana tindakan-tindakan kejahatan sudah dianggap sebagai sebuah kebaikan, perbuatan zinah dianggap sebagai sebuah “tuntutan”, korupsi yang jelas-jelas tindakan yang tidak “halal”, sudah dianggap sebagai suatu keharusan, illegal loging yang mengancam siklus kehidupan lingkungan, sudah bukan sebuah tindakan kriminal.
Kondisi ini, dalam al-Qur’an sebenarnya sudah disinggung oleh Allah. “apakah orang yang dihiaskan pada dirinya kejahatannya, sehingga kelihatan baik” (QS. 35 : . Ayat ini, mengisaratkan kepada umat manusia bahwa manusia sudah tidak memiliki kesadaran mengenai baik dan buruk, benar dan salah, karena kebaikan dan keburukan ini memang telah dihiaskan kepada diri manusia. Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang sudah larut pada perbuatan kesalahan atau keburukan itu sendiri, sehingga kesalahan atau keburukan tersebut dianggap sebagai kebaikan atau kebenaran.
Inilah yang disebut sebagi penyakit ruhani, lawan dari penyakit jiwa atau sakit jiwa. Dalam istilah Psikologi, sakit jiwa disebut sebagai orang yang gila, tidak berfungsinya nalar rasionalnya. Jenis sakit ini, oleh Nabi tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatannya. Tetapi berbeda dengan sakit ruhani. Sakit ruhani merupakan jenis penyakit yang sangat mengunggulkan sisi “materialitas”, dan meninggalkan sisi “spritualitas”. Jenis penyakit ini, justru menimbulkan kesengsaraan yang jauh lebih menyakitkan dibanding penyakit apapun di dunia ini. Karena ia akan dipertanggung jawabkan di kemudian hari. Saat ini, kita mungkin tidak pernah merasakannya. Tetapi ketika kita kembali kealam ruhani yang sebenarnya, yaitu mati, disitulah kita akan merasakan penderitaan tersebut.
Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa jati diri yang paling asasi adalah ruhaninya. Karena ia pada hakikatnya baik dan suci. Karena ia tercipta dari asal yang baik dan suci pula. Ketika Allah meniupkan “ruh spritual”-Nya kepada jasad manusia, maka pada saat itu pula manusia mempunyai potensi untuk berhubungan dan mencapai Yang Maha Suci. Oleh karena itu, intensitas kontak atau komunikasi sesorang kepada Allah, akan semakin meningkatkan hubungan spritual atau ruhaninya kepada Allah. Kontak atau komunikasi ini, secara fisikal terbentuk melalui prosesi ibadah Ilahiyyah, yaitu seperti sholat, puasa, haji dan lainnya, maupun ibadah Insaniyyah, yaitu berupa infak, memberi makan orang miskin, memelihara lingkungan dan seterusnya.
Berbagai ibadah tersebut dalam Islam merupakan sarana, bukan tujuan, untuk memelihara kesucian dan keagungan sisi ruhaniyah manusia. Sehingga dia akan mampu mengarahkan prilaku jasmaniyah dan intelektualnya kepada arah yang bernilai suci dan agung pula. Meskipun Allah menegaskan bahwa “tidak diciptakan Jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Nya”, tetapi ibadah bukanlah tujuan akhir penciptaan manusia. Ibadah tidak lebih sebagai sarana agar mampu menghantarkan manusia pada ridha-Nya.
Menjaga Hati
Salah satu upaya manusia, untuk tidak terjebak pada penyakit ruhani diatas adalah bagaimana mampu menjaga hatinya. Karena dengan kebeningan dan kejernihan hati itu, yang akan menghantarkan diri (self)manusia pada ruhaniyah yang suci, sehingga ia akan mencapai jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah). Oleh karenanya, seseorang dituntut untuk menjaga hati-nya, agar selalu tenang dan bersih, supaya tidak tertutup oleh “debu-debu” kesalahan yang kita perbuat. Sebab, ketika hati itu sudah tertutup oleh “debu-debu“ kesalahan tersebut, maka yang nampak hanyalah keburukan dan keburukan. Sehingga, pada saat otak bertanya kepada hati untuk melakukan suatu tindakan, maka yang muncul adalah keburukan itu sendiri. Disinilah lalu kesalahan dan keburukan yang ia lakukan, sakan-akan menjadi sesuatu kebaikan.
Agar upaya pembersiahan hati ini berjalan, haruslah melalui penguatan kembali ikatan manusia akan janji yang pernah ia iqrar-kan kepada Allah, yaitu ketika kita berjanji bahwa kita akan menyembah Allah sebagai Tuhan kita (QS. 7 : 172). Ikatan ini perlu di kuatkan melalui dzikir, yaitu senantiasa mengingat Allah, dimana dan kapan saja.
Melalui dzikir inilah, manusia akan selalu “merapat” dan “dekat” dengan Tuhan. Sebab hanya dari-Nya manusia dicipta dan hanya kepada-Nya manusia akan kembali. Perjalanan ruhani untuk kembali kepada-Nya ini, pada dasarnya ditunjukkan melalui kebeningan dan kejernihan hati. Kalau hati manusia mampu menunjukkan jalan yang benar, maka ia akan sampaiu ketempat asalnya sebagai jiwa yang tenang (nafs al-Muthmainnah). Akan tetapi, jika hati manusia menunjukannya kearah yang salah, maka ruh manusia itu akan tersesat dan tidak akan pernah sampai.
Karena itu, adalah sebuah hal yang sangat penting bagi manusia untuk selalu menjaga hatinya, agar mampu menangkap kebenaran. Dengan demikian ia dapat menjadi kompas bagi jiwa untuk selalu berjalan diatas “rel” kebenaran atau kebaikan. Hati hati yang senantiasa tercemari oleh perbuatan-perbuatan kotor, justru akan memadamkan pijar-nya, sehingga ia tidak lagi mampu memberikan sinar kebaikan kepada jiwa.
Yang lebih parah lagi adalah ketika hati manusia sudah tidak mampu lagi membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Kejahatan yang ia lakukan, dianggap sebagai kebaikan. Maka, disinilah perlunya manusia untuk tetap menjaga kebeningan dan kebersihan hati, sehingga laksana kaca atau air dalam bejana, sehingga manusia dapat bercermin dengan jujur kepada dirinya sendiri. Wallahu a’lam bi al-Showab.
Today, there have been 11 visitors (12 hits) on this page!