Apabila kita membuka kembali sejarah perkembangan Islam di Nusantara yang cenderung peaceful penetration (jalan damai), maka hal ini, meniscayakan sebuah proses yang evolutif (pelan dan bertahap) dari pada revolusi, sebagaimana yang terjadi di kawasan Timur Tengah melalui proses futuh (pembebasan atau peperangan). Proses ini, menjadikan Islam di Nusantara menampakkan karakteristik yang damai tetapi sekaligus dinamis. Karakter Islam di wilayah ini jauh dari kesan keras (non compromistic), kaku (rigid) dan sulit menerima kemajuan.
Akan tetapi, dinamika ke-Islaman di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami proses pergulatan yang sangat tajam. Tertangkapnya Abu Dujana dan rentetan peristiwa pengeboman yang muncul dalam tahun-tahun terakhir ini, menjadikan Islam di Indonesia mendapat perhatian yang cukup serius dari kaum intelektual Muslim.
Lebih-lebih perhatian dunia internasional, yang semula tertuju pada kawasan Timur Tengah, terutama dengan berbagai aksi kekerasan yang terjadi di sana, kini sudah beralih ke kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Perhatian dunia internasional terhadap kawasan Nusantara terjadi akibat pergerakan Islam di Indonesia yang mengalami pergeseran.
Regulasi model pemerintahan yang otoriter ke demokrasi, melalui “tumbal” reformasi, justru melahirkan kekuatan-kekuatan baru dalam kelompok-kelompok Islam. Lebih dari itu, “ijtihad” seringkali di jadikan jastifikasi terhadap prilaku-prilaku yang membuat orang sah untuk dibunuh. Sehingga, jika pada mulanya, Islam di Indonesia menampakkan wajahnya yang ramah dan damai, maka pada saat ini, justru sebaliknya. Islam di Indonesia manampilkan sebuah fenomena baru yang berubah secara sporadic.
Perubahan performance Islam itu, jika dilihat secara global, akan menunjuk pada dua fenomena besar yang sekarang ini terjadi di Tanah Air. Pertama, soal radikalisme yang muncul di berbagai tempat, terutama di daerah-daerah konflik dan di kota-kota besar, seperti Jakarta. Terjadinya radikalisme di kalangan umat biasanya mengalami penguatan ketika terjadi perang antaragama. Sikap heroik membela agama diekspresikan dengan jihad (perang suci) terhadap agama lain. Tak berlebihan, jika jihad dijadikan sebagai ideologi agama sekaligus sebagai medium perjuangan agama yang paling efektif untuk memotivasi umat.
Itulah yang terjadi di Poso dan Ambon ketika pecah konflik antaragama. Di dua tempat itulah, proses radikalisasi mengalami percepatan yang luar biasa, yang pada gilirannya memantulkan daya jelajahnya ke daerah-daerah lainnya. Begitu pula, kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan secara simbolik telah memperkuat proses radikalisasi di kalangan umat. Ini yang terjadi di wilayah Ibukota Jakarta, dengan berbagai aksi perusakan terhadap tempat-tempat hiburan malam. Aksi itu dipandang sebagai cara yang efektif untuk memberantas kemaksiatan yang menjamur di Ibukota.
Kedua, soal terorisme yang kian mengarah kepada sekelompok umat Islam yang berhaluan radikal. Tertangkapnya para pelaku peledakan bom di Bali, dan kasus-kasus kerusuhan di negeri ini, yang diduga mempunyai kaitan dengan anggota Jemaah Islamiyah memberikan keyakinan kepada kita betapa perjuangan agama (jihad) mesti dilakukan dengan aksi kekerasan. Padahal, berita-berita tentang terorisme sebelumnya tidak pernah dialamatkan kepada kita sebagai bangsa yang ramah dengan kenyataan pluralisme yang damai. Tetapi sekarang ini, aksi terorisme sudah terjadi di hadapan kita dan tidak bisa dielakkan dari kelompok-kelompok radikal. Aksi pengeboman atau ancaman bom malah sudah akrab kita dengar di mana-mana.
Kesemuanya itu sebenarnya disebabkan oleh pemahaman agama yang rigid, fanatik, dan kaku, sehingga agama hanya diperjuangkan secara simbolik-formalistik, bukan lagi aspek substansialnya. Ditambah lagi, dengan faktor di luarnya, seperti penguasa (rezim) dan intervensi asing (Barat/Amerika Serikat) yang selalu meminggirkan aspirasi mereka dalam mengembangkan dan mewujudkan tujuan-tujuan luhur agama.
Sayangnya, keyakinan kuat membela agama ini tidak dibarengi dengan pertimbangan yang bijak tentang dampak yang akan ditimbulkan dari aksi-aksi kekerasan yang dilakukan umat. Padahal, jika umat Islam mau berpikir lebih panjang, tidak akan melakukan aksi-aksi kekerasan.
Ketidakmampuan melakukan perubahan sosial diekspresikan dengan aksi balasan yang luar biasa dahsyatnya bagi citra Islam sebagai agama yang cinta perdamaian. Tindakan pengeboman terhadap kepentingan Barat menjadi isyarat betapa ketidakadilan Barat terhadap dunia Islam telah menciptakan frustrasi yang dilampiaskan dengan aksi-aksi terorisme.
Merancang Masa Depan
Tak ayal lagi, semuanya itu menjadikan wajah Islam di Indonesia dipersepsikan secara keseluruhan sebagai Islam radikal dan Islam teroris. Padahal, wajah radikal Islam tidak menjadi mayoritas umat Islam. Mereka hanyalah bagian kecil dari jumlah Islam di Indonesia yang mayoritas berafiliasi dengan NU dan Muhammadiyah sebagai gerbong Islam moderat. Karena itu, kita patut merenungkan kembali bagaimana menciptakan wajah Islam yang tidak keras di bumi Nusantara agar kembali menjadi wajah Islam yang damai.
Ada dua hal yang perlu kita lakukan untuk membangun wajah Islam yang ramah dan damai di Indonesia. Pertama, kampanye dakwah Islam moderat di tengah masyarakat. Hal itu dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai agama dalam komunitas plural secara lebih toleran, terutama di kalangan generasi muda. Bukankah sasaran generasi muda sekarang ini sudah diambil oleh kelompok radikal dalam setiap dakwahnya. Hal itu dibuktikan dengan para pelaku pengeboman di Bali yang dilakukan oleh generasi muda. Dakwah Islam moderat tidak lagi diorientasikan kepada masyarakat secara umum, tetapi difokuskan kepada generasi muda di kampus-kampus atau di sekolah-sekolah yang menjadi sasaran utama kelompok radikal.
Kedua, menciptakan kondisi masyarakat yang lebih baik secara keseluruhan. Hal itu dilakukan untuk memberikan bukti konkret betapa wacana moderat mampu menciptakan kondisi masyarakat yang ideal, bermoral dan berkualitas. Selama ini, mereka yang berhaluan radikal sering kali mengeluarkan kesimpulan bahwa tidak bermoralnya kehidupan masyarakat disebabkan bangsa Indonesia tidak menjalankan syariat Islam, seperti masa klasik Islam.
Karena itulah, kondisi masyarakat yang baik dapat menjadi bukti objektif betapa Islam moderat yang mayoritas dapat menciptakan kondisi yang baik bagi kehidupan masyarakat. Yakni, tidak ada korupsi, terjaminnya keadilan sosial, dan keluar dari krisis. Untuk mewujudkan kondisi masyarakat seperti itu memang sangatlah berat, tetapi usaha keras untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan bangsa dapat mengurangi kegalauan dan kerisauan beberapa kalangan.
Inilah yang menjadi cita-cita kita bersama dalam membangun citra Islam sebagai agama yang ramah dan damai di bumi Nusantara dengan wujud konkret kepedulian kita untuk mengampanyekan wacana moderat di tengah masyarakat. Merancang masa depan Islam Indonesia tidaklah mudah, tetapi kita tetap harus berusaha mewujudkannya.
Today, there have been 20 visitors (22 hits) on this page!