hanafie - Hakikat Pemimpin


Al-Fakhru ar-Razi meriwayatkan sebuah kisah tentang seorang raja yang bernama Anusyirwan. Dalam sejarah, raja ini dicatat sebagai raja yang adil. Suatu ketika raja ini sedang berburu, begitu ar-Razi memulai ceritanya. Ia sangat asyik berburu, sehingga ia terlepas dari pasukannya. Dalam keadaan haus, ia sampai pada sebuah perkebunan. Di kebun itu ia melihat banyak sekali pohon delima. Kepada anak penunggu kebun, sang raja berkata “Berikan kepadaku sebutir delima”. Delima itu ternyata sangatlah manis dan airnya yang lezat keluar melimpah. Raja pun terkesan dibuatnya, sehingga dalam hatinya ia berniat untuk memiliki dan mengambil kebun itu dari pemiliknya.

Pada kali yang kedua, sang raja meminta dan memakan buah delima tersebut. sungguh aneh bin ajaib, sekarang buah delima itu sedikit airnya dan kecut sekali rasanya. Raja pun lantas bertanya kepada penunggu kebun, “Hai anak, mengapa delima ini menjadi begini?”. “Mungkin ada raja di negeri ini yang bermaksud berbuat zalim. Karena niat jeleknya, delima ini menjadi begini” jelas si penunggu kebun. Seketika terkejutlah raja Anusyirwan. Lalu cepat-cepat ia bertobat dalam hatinya dan meminta satu delima lagi kepada si penunggu kebun. Sekarang delima itu terasa lebih enak dari delima yang ia makan sebelumnya. Kemudian ia pun bertanya kepada penunggu kebun itu “Hai anak mengapa delima ini berubah seperti ini?”. Penjaga kebun itu menjawab “Mungkin raja negeri ini bertobat dari kezalimannya”. Ketika mendengar jawaban tersebut, yang memang sesuai dengan keadaan hatinya, raja Anusyirwan benar-benar bertaubat dan berniat untuk tidak melakukan penindasan apapun terhadap siapapun.

Begitulah kira-kira cerita singkat ar-Razi ketika dia menjelaskan ayat maliki yaumi al-ddin. Ayat ini menjelaskan tentang kesempurnaan keadilan Tuhan, Raja pada Hari Pembalasan kelak. Tanpa adanya hari kiamat atau hari pembalasan, keadilan tidak dapat ditegakkan. Tuhan pun (pasti) tidak akan pernah rela, jika hamba-hamba-Nya yang papa selalu di tindas dan di perkosa hak-haknya oleh para pemimpin mereka yang zalim. Dalam imagi almarhum Imanual Kant mungkin, Tuhan tidak adil jika kelak (hari pembalasan) Dia tidak pernah “mengadili” mereka yang berbuat zalim.

Terbersit saja niat dihati seorang pemimpin, untuk berbuat zalim, pemimpin itu akan menimbulkan chaos, ketidakseimbangan ekologis dan semesta. Buah-buahhan yang tadinya manis, langsung berubah menjadi kecut, tanah yang subur akan bergeser menjadi kering-kerontang, hamparan pepohonan yang menghijau berganti menjadi coklat kekeringan, udara yang segar pun akan berbaur dengan asap yang menyesakkan pernapasan makhluq Tuhan.

Hal inilah kemudian menjadi catatan penting dari Fakhru ar-Razi, “Bila penguasa itu adil, karena keberkahan keadilannya, maka timbullah kebaikan dan ketentraman di alam semesta dan sebaliknya jika penguasa itu zalim, maka hilanglah kebaikan dialam semesta”.

Disinilah pentingnya seorang pemimpin untuk menghayati dan mewarisi sifat al-Malik al-Quddus al-Salam (Raja yang memelihara kesucian dirinya dan memelihara keselamatan orang lain). Ia berusaha untuk Quddus, tidak mencemari dirinya dengan hal-hal yang mengakibatkan hatinya kotor, tidak menghanyutkan diri pada hal-hal yang membuat “citra”-nya menjadi buruk. Setelah jiwa dan “citra”-nya bersih, barulah kemudian membersihkan “keluarga besar pembantu-pembantu” yang ada dibawahnya. Sehingga, semuanya bersih baik secara moral maupun spritual. Secara moral, ia tidak suka dengan prilaku-prilaku yang mengarah pada hal-hal yang berbau KKN. Secara spritual, ia menggantungkan perjalanan hidupnya kepada-Nya, menyisihkan waktu luangnya untuk ber-tafakkur kepada-Nya.

Sikap al-Salam, yang makna generik-nya seakar dengan ­al-Islam, adalah sikap yang harus memelihara keselamatan dan perdamaian diseluruh penghuni alam. Secara simbolik, sikap ini diucapkan dengan al-Salamu ‘alaikum warahmatu al-Lah, yaitu ucapan salam…(semoga keselamatan dan rahmat Allah terlimpah kepada anda….) yang setiap hari kita ucapkan. Dan ungkapan ini jelas merupakan do’a kedamaian dan kesejahteraan bagi semua. Sikap al-Salam ini juga berarti seorang pemimpin semestinya memiliki komitmen untuk mensejahterakan dan membahagiakan semua makhluq Tuhan. Ia harus mengepakkan sayap kedamaian dan rasa aman (dalam bahasa arab, semakna dengan kata al-Iman) kepada seluruh rakyat dibawahnya, baik “kecil” atau “besar”, baik yang “tinggi” ataupun yang “besar”.

Kalau saja para pemimpin yang berada di kanan-kiri kita, mewarisi dan menghayati sifat Tuhan tersebut, maka janji Allah “Orang-orang ahli surga itu ada tiga golongan ; Pertama, raja yang adil yang mendapat taufiq (hidayah)-Nya. Kedua, orang-orang yang berbelas kasih, lunak hati pada sanak saudara dan orang-orang Muslim. Dan Ketiga, orang miskin yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan dirinya” (HR. Muslim dari ‘Iyadhi bin Himar).

Bukankah pada diri kita masing-masing mengemban misi “kepemimpinan”?, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Muhammad “Setiap dari kamu semua adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban” atau dalam al-Qur’an ada istilah al-Khalifah fi al-Ardl, pemimpin di muka bumi untuk di emban oleh manusia?. Betatapun kecilnya kualitas kekuasaan yang ada pada diri kita, cobalah kita tebarkan berkah kesucian dan kehormatan diri kita serta keselamatan kepada orang lain, kepada orang-orang yang berada disekitar kita. Mari kita ubah pepohonan kering menjadi hamparan hijau yang rindang, mari kita lembut kan tanah yang keras, dengan kearifan untuk menjamah-nya, dan mari kita ubah delima yang semula kecut menjadi manis. Wallahu a’lam bi al-Showab.

 

 
Today, there have been 7 visitors (7 hits) on this page!

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free